Metal Pointer Adina's Blog: CERITA PENDEK ISLAMI

Sabtu, 03 Juni 2017

CERITA PENDEK ISLAMI

Pucuk Penantian
Adina Febriyanti


S
yira, wanita pujaan Amar yang tersimpan dalam relung hati. Mereka berkenalan setelah sekian lama berkejar pandang, menatap dari jauh, dan mencoba melempar hati kepada sang pujaan. Bertemu dalam lingkup pesantren yang melarang keras adanya kontak antara kaum adam dan hawa, mengharuskan mereka memutar otak untuk saling bertemu. 
Namun yang pasti, dari tatapan mereka berdua menyorotkan sinar yang menyilaukan mata, dapat dirasakan tapi seakan tabu. Memendam perasaan yang bergelora tanpa tahu cara mencerminkannya. Romansa itu bisa terus tumbuh, meski riak yang mengalun pelan di celah batin keduanya tak dapat terlontarkan.

                “Syira, kamu mungkin mengiraku ini edan. Tapi aku ingin mengungkapkan yang sesungguhnya padamu. Aku mencintaimu, maukah kamu menikah denganku dan hidup bersama setelah kita lulus dan aku bisa mencari bekal untuk hidup kita?.” Ungkap Amar. Dia nampak gugup terlihat jelas dari caranya berdiri dan menggulung-gulung tepi kaosnya yang lusuh.

                “Amar, aku sungguh tidak menyangka kamu akan mengungkapkannya. Terimakasih Amar. Aku bersedia. Aku mencintaimu.” Syira sangat bahagia. Dia tertunduk dan menyair menyeka air yang merayap di pipinya.

                “Terimakasih Syira. Tapi apa kamu bisa menungguku selama beberapa saat untuk mengumpulkan bekal untuk hidup bersamamu?.” Ucap Amar. Dalam hatinya ada rasa takut, mengingat apa yang mungkin saja terjadi antara mereka selanjutnya. Syira tak membalas, dia hanya kebingungan melihat sosok pria yang begitu di cintainya terlihat murung. Syira hanya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.

                “Aku sekarang sudah lulus. Dan sebulan lagi aku akan berangkat ke perantauan, mungkin untuk sementara waktu kita harus berpisah, Syira. Tunggu aku, jaga dirimu baik-baik. Jaga cinta kita ya. Aku mencintaimu. Aku akan kembali.” Sambung Amar dengan tegar dan mengusap air mata kekasihnya.

                “Aku akan setia menunggumu. Janji Amar. Aku hanya ingin hidup bersamamu.” Balas Syira kemudian melesat jiwanya di pelukan pria itu. Romansa begitu terasa senja ini, angin sepoi menyejukkan sepasang muda yang dimabuk asmara. Semuanya serasa indah. Senja digantikan sang malam berhiaskan taburan kerlap-kerlip berlian diangkasa. Cinta, kau datang dan menjadikan hidup ini sungguh indah.


                                                                                                ***

Empat tahun kemudian…
                “Saya terima nikahnya Syira Zaleha binti Abdul Salim dengan mas kawin seperangkat alat solat dibayar tunai.” Untaian kata itu menghentikan jantung Syira yang ada di seberang sana.

Bagaimana tidak? Pria yang telah menikahinya sama sekali tak dicintainya. Dia tak lain adalah anak dari ustadz Abdul Syeh Jalaludin, seorang ustadz dan pendiri pondok pesantren tempat dimana dulu Syira dan Amar menimba ilmu, tempat pertemuan mereka berdua . 

Namanya Nanda Abdul Jalaludin, dia baru saja pulang setelah menyabet gelar S2 nya di timur tengah. Bisa dibilang dia sangat sempurna dan siap lahir batin untuk mendampingi Syira. Bagaimana tidak, selepas gelar S2 disematkan padanya maka tak lama ia akan menggantikan ayahnya sebagai pemegang kekuasaan di pondok tersebut, dan tampangnya sangat proporsional. 

Dia tampan, bertubuh tinggi besar dan sangat religius. Semua wanita pasti akan mencinta saat memandangnya dari segi manapun. Sempurna, mungkin itu yang terlintas dalam benak semua orang saat melihatnya. Tapi tidak bagi Syira, setelah kepulangan Nanda dari timur tengah Syira merasa risih dengan kasak-kusuk perjodohan yang mulai terdengar di seantero pesantren juga masyarakat. 

Dan kejadian demi kejadian seperti Syira sering diberi tugas untuk membersihkan rumah di ruangan khusus keluarga dan pengurus pondok, diajak makan malam bersama, dan diajak sowan kerumah oleh Nyai Halimah istri dari Ustadz Jalaludin menguatkan masa perjodohan ini.

“Tidak, Syira tidak bisa menikah dengan Nanda pak.” Ucap Syira ketika mendengar langsung dari orang tuanya perihal perjodohannya dengan Nanda.

“Ini yang terbaik untukmu nak, kamu akan menjadi seorang istri dari ustadz muda yang sukses dan terkenal. Dan bapak jamin kamu akan bahagia, kamu akan dihormati, dan pondok pesantren yang bapak kelola akan berkembang dengan ikatan pernikahan antara kamu dan Nanda. Jangan sampai hubungan kita dengan keluarganya menjadi memburuk karena keputusan kamu.” Ucap ayah Syira, dia terus membujuk dan tidak menghiraukan perasaan anaknya itu. 

Bahkan setelah diberitahu bahwa Syira sudah memiliki seorang kekasih dan telah berjanji menunggunya, ayah Syira terus bersikeras. Syira yang malang harus mengalah, merelakan penantiannya terbuang sia-sia, ternodai dengan jalan yang akan ditepuhnya. Yang hinggap dipikirannya hanyalah Amar, kemana dia hingga pergi selama ini? Apa dia baik-baik saja?

Pernikahan yang tidak diinginkan oleh Syira kini telah terjadi. Pernikahan atas dasar bisnis, tidak adil baginya menjadi korban dalam jembatan kesuksesan dan perkembangan pondok pesantren itu, setidaknya begitulah yang ada dalam benak Syira. Ia ingin pergi dan mengejar Amar di negeri entah berantah dan menghilangkan dahaga kerinduannya, tapi mana bisa? Syira kini terikat dengan janji suci pernikahan. Gema ijab qabul menggema khusyuk dipagi itu. Syira yang berada di seberang ruangan terlihatmurung dan pucat pasi, orang-orang bahagia atas pernikahan itu, tapi lain hal bagi Syira. Dia nelangsa, banjir air matanya. Hatinya remuk, batin menghardik dan mencaci diri, mengkhianati kekasihnya yang diberinya janji dan hati yang utuh.

“Maafkan aku Amar, maafkan aku.” Berulang-ulang Syira mengucap rasa sesal, memeluk sebuah foto lusuh hitam putih tergambar samar wajah Amar yang kian memudar. Dipasangnya di sebuah bingkai kayu kecil, agarlah kenangannya tak lekang oleh waktu. Setelah sekian lama, Syira tak pernah mendapat kabar akan keberadaan Amar. Amar, engkau dimana? Bahkan surat dan undangan pernikahann yang dikirimnya tak pernah mendapat balasan. Amar benar-benar hilang diterpa waktu.

                                                                                ***

Syira menurunkan bocah kecil dari gendongan dan ditidurkannya diatas kasur. Kamar yang behiaskan boneka yang sangat cantik. Secantik bidadari yang menempatinya. Bocah itulah hasil pernikahannya dengan suaminya. Syira terlihat sangat berbeda dari Syira lima tahun silam, tubuhnya yang berisi kini mengering bersisa tulang, bibirnya tak lagi pink, rambutnya tergerai lemas tak berdaya. 

Selepas pernikahan itu, wajahnya selalu murung, tak pernah Syira mendapat kebahagian tak pernah sekalipun Nanda memberikan semua untuknya. Hidupnya kelam, gejolak rindu yang mulai padan namun masih membara disimpannya dengan penuh harap. Air mata sudahlah kering setelah bertahun-tahun di perasnya. Yang diingannya hanyalah Amar, tidak ada yang lain. Kemana gerangan perginya sang penghibur lara? Kemana Syira harus mencari sepercik air surga yang menghilangkan dahaga rindunya. Menangis, hanya itu yang dapat dilakukannya. Nanda memang pria yang sangat baik, tapi Syira hanya bisa mencinta sekali dalam hidupnya. Tak ada ruang baginya, takkan ada bahkan setelah sekian lama dicobanya, kini hari-hari terlewati tak berguna. Topeng yang di kenakan adalah sampah yang membusuk. Tak ada yang berguna. Hanya bidadari kecilnya itu yang membuatnya bertahan sampai saat ini.

Assalamu’alaikum.”  Terdengar salam samar di depan pintu. Syira dengan cepat merapikan baju dan mengenakan kerudungnya, bergegas menuju pintu dan membukakan pintu.

Wa’alaikumsalam.. eh Ani? Apa kabar? Udah lama ya ngga ketemu. Makin subur aja nih, hehe.” Ucap Syira seketika saat melihat teman lamanya itu, lama sekali dia tidak mengunjunginya.

“Alhamdulillah Ra. Aku baik-baik saja, hidupku bahagia. Maaf baru mengunjungimu sekarang, suamiku baru mengizinkanku kemari setelah ada bisnis di kota ini. Tapi ada apa ini? Kenapa Syira ku menjadi kurus kering? Matamu sembab Ra, kamu habis menangis?.” Jawab Ani. 

Syira hanya tertunduk, tak berani menatap mata sahabatnya. Ani penasaran, ada dorongan keingintahuan dalam dirinya, hatinya teriris-iris melihat sahabatnya yang dulu ceria kini bagai ada dalam sangkar dan nelangsa setengah mati. Ani tidak kuat melihatnya seperti ini, ia ingin menangis, tapi Ani sadar itu akan membuatnya semakin lara, tak bisa berbuat apa-apa selain menguatkan tiang yang reot itu. Ani adalah orang pertama yang mengetahui akan rahasia Amar dan Syira, orang pertama yang tahu dulu saat mereka masih malu-malu untuk berpandangan, Ani lah jembatan penghubung mereka berdua, sahabat tempatnya berkeluh kesah. Dan juga, dia adalah orang pertama yang sangat bahagia mendengar kabar atas janji setia mereka berdua.

“Ra, kita saling mengenal lama sekali. Apa yang membuatmu seperti ini?.” Tutur Ani dengan lembut, tak sabar ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

“Amar, Amar, aku tidak bisa melupakannya An. Aku sangat mencintainya, aku ingin hidup bahagia An. Bawa aku keluar dari sangkar ini.” Jawab Syira pelan, tapi melengking suaranya disertai isak tangis yang terdengar. Ani memeluknya, mencoba menenangkan tubuh syira.

“Ini, surat Amar untukmu. Dia sudah mendengar kabar bahwa kamu telah menikah, dia mengirim surat untukku dan menitipkan surat untukmu. Dia tidak ingin merusak kebahagiaanmu.” Ucap Ani setelah merasa ada waktu yang tepat, Syira sudah mulai tenang. Tanganya gemetar menerima surat yang digenggam sahabatnya. Dibukanya surat yang dikirim Amar satu bulan lalu.

Assalamu’alaikum kekasihku, sayangku, sinar mataku, bidadari surgaku..
Bagaimana kabarmu Syira? Semoga Allah selalu memberimu yang terbaik. Aku mendengar kabar dari sahabat kita Ani, kamu sekarang sudah mempunyai bayi kecil nan lucu anak yang kelak menjadi mahkota keluarga. Selamat ya sayang atas buah cintamu. Maaf Syira, aku tidak bisa datang melihatmu memakai gaun pernikahanmu dan menjadi saksi kebahagiaanmu, aku menyia-nyiakan kesempatan melihat senyummu lagi. Syira, setiap malam aku terus memikirkanmu, hanya parasmu yang bergelantungan diatas mimpiku. Ingin aku memelukmu selamanya, namun mana mungkin? Aku bukan tandingannya.  Disini, menara petronas terlihat jelas menjulang menatap langit dengan angkuh menyaksikan indahnya taburan bintang, sabit bulan menyayat hatiku malam ini, dimana ini adalah tahun kelima selepas aku meninggalkanmu. Dan terhitung 25 hari setelah surat ini kutulis, aku akan menyanggupi janjiku, kembali padamu setelah lima tahun aku jauh darimu, telat dua tahun dari tenggat waktu yang kita tentukan. Bukan tanpa alasan, ada peristiwa yang tak dapat aku lupakan, pada tahun pertama dan kedua aku bekerja dan semuanya baik-baik saja, tapi setelah pertengahan tahun ketiga itu aku masuk sel besi yang memaksaku menerima takdir. Aku tenaga kerja illegal. Aku dibebaskan setelah satu setengah tahun mendekam di dalam sana. Setelah keluar, aku justru kelabakan. Bagaimana tidak, aku tidak punya kenalan apalagi sanak saudara disini. Uang hasil jerit payahku disita polisi saat penangkapan itu, mau pulang modal tidak ada, mau bekerja mana ada yang mau menerimaku, mau tinggal terus aku mau makan apa. Hingga suatu hari, saat semuanya terasa gelap siang itu aku tidur beralas tikar rumput, aku merasa ajalku telah dekat setelah tiga hari paska kebebasanku tak ada makanan yang hinggap di perutku, ada seorang polisi cantik keturunan Indonesia membantuku bangun dan memberiku makan, tempat tinggal, dan mempekerjakanku. Dan beberapa bulan lagi, terhitung dari tanggal ini aku akan diantarnya menuju tempat dimana aku akan mendapat pembinaan sebelum aku dikembalikan ke Indonesia. Aku akan sangat bahagia bila bisa melihatmu setibanya disana, aku akan sangat senang. Terlebih bukan sebagai sahabat, tapi cinta yang mengembang diantara kita. Aku tidak berharap banyak, hanya saja, aku mencintaimu Syira. Sampai jumpa.
Wassalamu’alaikum.
Kekasihmu, Amar.

                Wajah Syira sumringah, kekasihnya akan datang. Dia memeluk sahabatnya kuat-kuat, berharap ada kesejukan setelah meluapkan banjir air matanya. Ani terharu, memeluk tubuh kurus kering sahabatnya yang menyedihkan. Wajah bahagia terpancar di wajah mereka.

                “Assalamu’alaikum.” Sapa Nanda sembari melepas senyum yang berat, hati Syira dan Ani gelisah, kalau-kalau Nanda mendengar semua perkataannya.

                “Wa’alaikumsalam.” Jawab kedua wanita itu dengan sopan. Wajahnya masih tertunduk. Menahan malu.

                “Eh mas Nanda, ini Ani sahabatku waktu di pondok dulu. Mas udah lama pulangnya? Tumben jam segini udah pulang.” Ucap Syira memecahkan keheningan kala itu.

                “Iya, eh pak ustadz Nanda, saya harus pergi dulu, saya sudah ditunggu suami untuk segera pulang di rumah ibu. Saya pamit, Assalamu’alaikum.” Ani cepat-cepat berpamitan tak lama setelah Nanda menyandarkan tubuhnya ke sofa empuk itu.

Setelah menjawab salam, Nanda kembali bangkit, mengamati bawah meja mendekati Syira lalu berjongkok, mengambil secarik kertas yang terjatuh tepat saat Nanda masuk ke ruangan ini. Di kolong meja itu, di temukannya  sebuah surat bertuliskan tangan kekasih Syira, surat dari Amar. Nanda mengamati sekilas, lalu berdiri dan mulai membaca kata per kata yang terukir di putihnya kertas itu. Raut wajah Nanda pucat pasi setelah usai membacanya, tak karuan perasaan Nanda dan Syira, berkutat dengan angan masing-masing. Di berinya isyarat agar Syira mengikuti suaminya ke dalam kamar. 

Di dalam, terlihat putri kecilnya tertidur pulas, tak merasakan apa yang terjadi sebenarnya. Nanda, mengambil koper besar, dan mengemasi barang Syira juga sebagian pakaian bayi mereka. Syira menangis, membayangkan apa yang akan dilakukan suaminya. Bunga-bunga merekah manis di luar sana menghias lantai marmer teras rumah mereka, semua diam membisu, hanya aliran sungai kecil yang terdengar seakan berbisik untuk tetap tenang.

Di dalam mobil merah itu, diantarnya Syira dan bayinya pulang menuju rumah ayah Syira. Dalam perjalanan, tak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir Nanda. Semuanya terasa kaku. Hanya pucuk pohon ditepi jalan yang bergoyang dihempas angin kesana kemari. Langit mendung namun tetap terik, menerawang apa yang telah Allah gariskan dalam hidup.

Setibanya dirumah, mereka masuk dan Syira serta anaknya masuk ke dalam sebuah bilik utama dekat ruang tamu, sementara Nanda membicarakan hal serius dengan ayah mertuanya. Syira di kembali ke rumah orang tuanya karena kesalahannya, rasa malu yang di dapat dirinya dan keluarganya, memaksanya terus mengurung diri di kamar. Tubuhnya yang telah kurus terus terpers sarinya bersisa tulang, yang dilakukannya hanya terdiam pada setiap orang yang datang padanya. Makanan dimeja tak pernah disambarnya hanya melihatnya saja sudah kenyah, duduk di dekat jendela, menanti sang pujaan datang dan membukakan pintu yang sebenarnya. Penantian demi penantian terlewati, hingga ia jatuh sakit dan terkapar di kursi roda, harapannya usai, rumah tangganya hancur.

                                                                                ***

“Syira, ini sahabatmu. Ani, bukakan pintunya untukku.” Ucap Ani di depan kamar sahabatnya. Setelah mendengar kabar perceraian itu, Ani bersikeras untuk menemuinya. Tidak ada jawaban. Tapi tak lama terdengar  suara kunci pintu terbuka.

“Ani..” Syira langsung menangis di pelukan sahabatnya.

“Sudahlah Ra, aku ingin mengabarkan keadaan Amar. Amar tiba dirumah satu minggu yang lalu, aku tidak tahu apa ini membantumu tapi temui dia. Ayo pergi, ku antar kamu.” Ajak Ani pada Syira yang semakin memburuk keadaannya. Diantarnya Syira menuju rumah Amar.

Sesampainya di rumah Amar, diturunkannya Syira dari mobil, di naikkan ke kursi roda. Suasanya mencekam, langit begitu mendung bersiap memuntahkan halilintarnya. Di depan rumah tua itu, dilhatnya bendera putih berkibar dengan pilu. Innaillahiwainnaillahiroji’un. Ibu Amar meninggal beberapa jam sebelum Syira dan Ani sampai di depan rumah itu. Syira dengan cemas menanti detik demi detik membawa serta kekasih yang tlah lama tak di jumpainya.

“Syira..Kaukah itu?” Panggil seorang pria di belakangnya, suara yang tidak berubah selama tiga tahun lamanya. Syira berbalik menghadap Amar. Syira berpegang erat pada kursi rodanya agar dia tak roboh mendapati suatu hal yang sangat dia rindukan. Sang kekasih.

“Amar.” Amar mendekat kearah Syira, berjongkok lalu bersimpuh dan menghadapkan mukanya persis di depan Syira. Wajah wanita itu sungguh mampu membuat jiwa Amar terlepas dari tambatannya. Ini adalah saat yang paling di nantikan olehnya setelah penantian yang panjang. Air matanya semakin deras berjatuhan.

“Lama sekali kamu pergi, Amar? Tidakkah kau merindukanku?.” Amar terpaku, yang bisa dilakukannya hanyalah memeluk wanita yang sangat di cintainya. Tidak ada yang perlu dijelaskan, cukup hati mereka yang berbicara, semuanya terjawab tanpa keraguan.

Amar mengayunkan tangannya di wajah Syira, ,menghapus air matanya. Tatapan mereka penuh kasih. Cuaca bergeser membawa harapan baru. Angin senja mengantar matahari menuju persinggahannya. Dari sini, langit malam tampak luas dan jernih. Cuaca menjelang malam nan cerah membuat bintang-bintang di angkasa berkilau bak intan berlian. Wahai insan yang mencinta, berbahagialah. []

1 komentar:

  1. Halo, semuanya, tolong, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman yang benar-benar mengubah hidup saya dari kemiskinan menjadi seorang wanita kaya dan sekarang saya memiliki kehidupan yang sehat tanpa tekanan dan kesulitan keuangan,

    Setelah berbulan-bulan mencoba mendapatkan pinjaman di internet dan saya telah ditipu dari 400 juta, saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari kreditor online yang sah dalam kredit dan tidak akan menambah rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk meminta saran kepada teman saya tentang bagaimana cara mendapatkan pinjaman online, kami membicarakannya dan kesimpulannya adalah tentang seorang wanita bernama Mrs. Maria yang adalah CEO Maria Loan. Perusahaan

    Saya mengajukan jumlah pinjaman (900 juta) dengan suku bunga rendah 2%, sehingga pinjaman yang disetujui mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena fakta bahwa itu tidak memerlukan jaminan untuk transfer. pinjaman, saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.

    Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah 900 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan menjawab doa saya dengan memesan pemberi pinjaman saya dengan kredit saya yang sebenarnya, yang dapat memberikan hati saya harapan.

    Terima kasih banyak kepada Ibu Maria karena telah membuat hidup saya adil, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Maria dengan baik melalui E-mail (mariaalexander818@gmail.com) ATAU Via Whatsapp (+1 651-243 -8090) untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan pinjaman Anda,

    Jadi, terima kasih banyak telah meluangkan waktu Anda untuk membaca tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
    Nama saya adalah kabu layu, Anda dapat menghubungi saya untuk referensi lebih lanjut melalui email saya: (kabulayu18@gmail.com)

    Terima kasih semua.

    BalasHapus