Pucuk
Penantian
Adina Febriyanti
S
|
yira, wanita pujaan Amar yang tersimpan dalam relung hati.
Mereka berkenalan setelah sekian lama berkejar pandang, menatap dari jauh, dan
mencoba melempar hati kepada sang pujaan. Bertemu dalam lingkup pesantren yang melarang
keras adanya kontak antara kaum adam dan hawa, mengharuskan mereka memutar otak
untuk saling bertemu.
Namun yang pasti, dari tatapan mereka berdua menyorotkan
sinar yang menyilaukan mata, dapat dirasakan tapi seakan tabu. Memendam
perasaan yang bergelora tanpa tahu cara mencerminkannya. Romansa itu bisa terus
tumbuh, meski riak yang mengalun pelan di celah batin keduanya tak dapat
terlontarkan.
“Syira,
kamu mungkin mengiraku ini edan. Tapi
aku ingin mengungkapkan yang sesungguhnya padamu. Aku mencintaimu, maukah kamu
menikah denganku dan hidup bersama setelah kita lulus dan aku bisa mencari
bekal untuk hidup kita?.” Ungkap Amar. Dia nampak gugup terlihat jelas dari
caranya berdiri dan menggulung-gulung tepi kaosnya yang lusuh.
“Amar,
aku sungguh tidak menyangka kamu akan mengungkapkannya. Terimakasih Amar. Aku
bersedia. Aku mencintaimu.” Syira sangat bahagia. Dia tertunduk dan menyair menyeka
air yang merayap di pipinya.
“Terimakasih
Syira. Tapi apa kamu bisa menungguku selama beberapa saat untuk mengumpulkan
bekal untuk hidup bersamamu?.” Ucap Amar. Dalam hatinya ada rasa takut,
mengingat apa yang mungkin saja terjadi antara mereka selanjutnya. Syira tak
membalas, dia hanya kebingungan melihat sosok pria yang begitu di cintainya
terlihat murung. Syira hanya menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku
sekarang sudah lulus. Dan sebulan lagi aku akan berangkat ke perantauan,
mungkin untuk sementara waktu kita harus berpisah, Syira. Tunggu aku, jaga
dirimu baik-baik. Jaga cinta kita ya. Aku mencintaimu. Aku akan kembali.”
Sambung Amar dengan tegar dan mengusap air mata kekasihnya.
“Aku
akan setia menunggumu. Janji Amar. Aku hanya ingin hidup bersamamu.” Balas
Syira kemudian melesat jiwanya di pelukan pria itu. Romansa begitu terasa senja
ini, angin sepoi menyejukkan sepasang muda yang dimabuk asmara. Semuanya serasa
indah. Senja digantikan sang malam berhiaskan taburan kerlap-kerlip berlian
diangkasa. Cinta, kau datang dan menjadikan hidup ini sungguh indah.
***
Empat tahun kemudian…
“Saya terima
nikahnya Syira Zaleha binti Abdul Salim dengan mas kawin seperangkat alat solat
dibayar tunai.” Untaian kata itu menghentikan jantung Syira yang ada di
seberang sana.
Bagaimana tidak? Pria yang telah
menikahinya sama sekali tak dicintainya. Dia tak lain adalah anak dari ustadz
Abdul Syeh Jalaludin, seorang ustadz dan pendiri pondok pesantren tempat dimana
dulu Syira dan Amar menimba ilmu, tempat pertemuan mereka berdua .
Namanya
Nanda Abdul Jalaludin, dia baru saja pulang setelah menyabet gelar S2 nya di
timur tengah. Bisa dibilang dia sangat sempurna dan siap lahir batin untuk mendampingi
Syira. Bagaimana tidak, selepas gelar S2 disematkan padanya maka tak lama ia
akan menggantikan ayahnya sebagai pemegang kekuasaan di pondok tersebut, dan
tampangnya sangat proporsional.
Dia tampan, bertubuh tinggi besar dan sangat
religius. Semua wanita pasti akan mencinta saat memandangnya dari segi manapun.
Sempurna, mungkin itu yang terlintas dalam benak semua orang saat melihatnya.
Tapi tidak bagi Syira, setelah kepulangan Nanda dari timur tengah Syira merasa
risih dengan kasak-kusuk perjodohan yang mulai terdengar di seantero pesantren
juga masyarakat.
Dan kejadian demi kejadian seperti Syira sering diberi tugas
untuk membersihkan rumah di ruangan khusus keluarga dan pengurus pondok, diajak
makan malam bersama, dan diajak sowan kerumah oleh Nyai Halimah istri dari
Ustadz Jalaludin menguatkan masa perjodohan ini.
“Tidak, Syira tidak bisa menikah
dengan Nanda pak.” Ucap Syira ketika mendengar langsung dari orang tuanya perihal
perjodohannya dengan Nanda.
“Ini yang terbaik untukmu nak, kamu
akan menjadi seorang istri dari ustadz muda yang sukses dan terkenal. Dan bapak
jamin kamu akan bahagia, kamu akan dihormati, dan pondok pesantren yang bapak
kelola akan berkembang dengan ikatan pernikahan antara kamu dan Nanda. Jangan
sampai hubungan kita dengan keluarganya menjadi memburuk karena keputusan kamu.”
Ucap ayah Syira, dia terus membujuk dan tidak menghiraukan perasaan anaknya
itu.
Bahkan setelah diberitahu bahwa Syira sudah memiliki seorang kekasih dan
telah berjanji menunggunya, ayah Syira terus bersikeras. Syira yang malang
harus mengalah, merelakan penantiannya terbuang sia-sia, ternodai dengan jalan
yang akan ditepuhnya. Yang hinggap dipikirannya hanyalah Amar, kemana dia
hingga pergi selama ini? Apa dia baik-baik saja?
Pernikahan yang tidak diinginkan
oleh Syira kini telah terjadi. Pernikahan atas dasar bisnis, tidak adil baginya
menjadi korban dalam jembatan kesuksesan dan perkembangan pondok pesantren itu,
setidaknya begitulah yang ada dalam benak Syira. Ia ingin pergi dan mengejar
Amar di negeri entah berantah dan menghilangkan dahaga kerinduannya, tapi mana
bisa? Syira kini terikat dengan janji suci pernikahan. Gema ijab qabul menggema
khusyuk dipagi itu. Syira yang berada di seberang ruangan terlihatmurung dan
pucat pasi, orang-orang bahagia atas pernikahan itu, tapi lain hal bagi Syira.
Dia nelangsa, banjir air matanya. Hatinya remuk, batin menghardik dan mencaci
diri, mengkhianati kekasihnya yang diberinya janji dan hati yang utuh.
“Maafkan aku Amar, maafkan aku.”
Berulang-ulang Syira mengucap rasa sesal, memeluk sebuah foto lusuh hitam putih
tergambar samar wajah Amar yang kian memudar. Dipasangnya di sebuah bingkai
kayu kecil, agarlah kenangannya tak lekang oleh waktu. Setelah sekian lama, Syira
tak pernah mendapat kabar akan keberadaan Amar. Amar, engkau dimana? Bahkan
surat dan undangan pernikahann yang dikirimnya tak pernah mendapat balasan.
Amar benar-benar hilang diterpa waktu.
***
Syira menurunkan bocah kecil dari
gendongan dan ditidurkannya diatas kasur. Kamar yang behiaskan boneka yang
sangat cantik. Secantik bidadari yang menempatinya. Bocah itulah hasil
pernikahannya dengan suaminya. Syira terlihat sangat berbeda dari Syira lima
tahun silam, tubuhnya yang berisi kini mengering bersisa tulang, bibirnya tak
lagi pink, rambutnya tergerai lemas tak berdaya.
Selepas pernikahan itu,
wajahnya selalu murung, tak pernah Syira mendapat kebahagian tak pernah
sekalipun Nanda memberikan semua untuknya. Hidupnya kelam, gejolak rindu yang
mulai padan namun masih membara disimpannya dengan penuh harap. Air mata sudahlah
kering setelah bertahun-tahun di perasnya. Yang diingannya hanyalah Amar, tidak
ada yang lain. Kemana gerangan perginya sang penghibur lara? Kemana Syira harus
mencari sepercik air surga yang menghilangkan dahaga rindunya. Menangis, hanya
itu yang dapat dilakukannya. Nanda memang pria yang sangat baik, tapi Syira
hanya bisa mencinta sekali dalam hidupnya. Tak ada ruang baginya, takkan ada
bahkan setelah sekian lama dicobanya, kini hari-hari terlewati tak berguna.
Topeng yang di kenakan adalah sampah yang membusuk. Tak ada yang berguna. Hanya
bidadari kecilnya itu yang membuatnya bertahan sampai saat ini.
“Assalamu’alaikum.” Terdengar
salam samar di depan pintu. Syira dengan cepat merapikan baju dan mengenakan
kerudungnya, bergegas menuju pintu dan membukakan pintu.
“Wa’alaikumsalam.. eh Ani? Apa kabar? Udah lama ya ngga ketemu.
Makin subur aja nih, hehe.” Ucap Syira seketika saat melihat teman lamanya itu,
lama sekali dia tidak mengunjunginya.
“Alhamdulillah
Ra. Aku baik-baik saja, hidupku bahagia. Maaf baru mengunjungimu sekarang,
suamiku baru mengizinkanku kemari setelah ada bisnis di kota ini. Tapi ada apa
ini? Kenapa Syira ku menjadi kurus kering? Matamu sembab Ra, kamu habis
menangis?.” Jawab Ani.
Syira hanya tertunduk, tak berani menatap mata sahabatnya.
Ani penasaran, ada dorongan keingintahuan dalam dirinya, hatinya teriris-iris
melihat sahabatnya yang dulu ceria kini bagai ada dalam sangkar dan nelangsa
setengah mati. Ani tidak kuat melihatnya seperti ini, ia ingin menangis, tapi
Ani sadar itu akan membuatnya semakin lara, tak bisa berbuat apa-apa selain
menguatkan tiang yang reot itu. Ani adalah orang pertama yang mengetahui akan
rahasia Amar dan Syira, orang pertama yang tahu dulu saat mereka masih
malu-malu untuk berpandangan, Ani lah jembatan penghubung mereka berdua,
sahabat tempatnya berkeluh kesah. Dan juga, dia adalah orang pertama yang
sangat bahagia mendengar kabar atas janji setia mereka berdua.
“Ra, kita saling mengenal lama
sekali. Apa yang membuatmu seperti ini?.” Tutur Ani dengan lembut, tak sabar
ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Amar, Amar, aku tidak bisa
melupakannya An. Aku sangat mencintainya, aku ingin hidup bahagia An. Bawa aku
keluar dari sangkar ini.” Jawab Syira pelan, tapi melengking suaranya disertai
isak tangis yang terdengar. Ani memeluknya, mencoba menenangkan tubuh syira.
“Ini, surat Amar untukmu. Dia sudah
mendengar kabar bahwa kamu telah menikah, dia mengirim surat untukku dan
menitipkan surat untukmu. Dia tidak ingin merusak kebahagiaanmu.” Ucap Ani
setelah merasa ada waktu yang tepat, Syira sudah mulai tenang. Tanganya gemetar
menerima surat yang digenggam sahabatnya. Dibukanya surat yang dikirim Amar
satu bulan lalu.
Assalamu’alaikum
kekasihku, sayangku, sinar mataku, bidadari surgaku..
Bagaimana kabarmu
Syira? Semoga Allah selalu memberimu yang terbaik. Aku mendengar kabar dari
sahabat kita Ani, kamu sekarang sudah mempunyai bayi kecil nan lucu anak yang
kelak menjadi mahkota keluarga. Selamat ya sayang atas buah cintamu. Maaf
Syira, aku tidak bisa datang melihatmu memakai gaun pernikahanmu dan menjadi saksi
kebahagiaanmu, aku menyia-nyiakan kesempatan melihat senyummu lagi. Syira,
setiap malam aku terus memikirkanmu, hanya parasmu yang bergelantungan diatas
mimpiku. Ingin aku memelukmu selamanya, namun mana mungkin? Aku bukan
tandingannya. Disini, menara petronas
terlihat jelas menjulang menatap langit dengan angkuh menyaksikan indahnya taburan
bintang, sabit bulan menyayat hatiku malam ini, dimana ini adalah tahun kelima
selepas aku meninggalkanmu. Dan terhitung 25 hari setelah surat ini kutulis,
aku akan menyanggupi janjiku, kembali padamu setelah lima tahun aku jauh
darimu, telat dua tahun dari tenggat waktu yang kita tentukan. Bukan tanpa
alasan, ada peristiwa yang tak dapat aku lupakan, pada tahun pertama dan kedua aku
bekerja dan semuanya baik-baik saja, tapi setelah pertengahan tahun ketiga itu
aku masuk sel besi yang memaksaku menerima takdir. Aku tenaga kerja illegal.
Aku dibebaskan setelah satu setengah tahun mendekam di dalam sana. Setelah
keluar, aku justru kelabakan. Bagaimana tidak, aku tidak punya kenalan apalagi
sanak saudara disini. Uang hasil jerit payahku disita polisi saat penangkapan
itu, mau pulang modal tidak ada, mau bekerja mana ada yang mau menerimaku, mau
tinggal terus aku mau makan apa. Hingga suatu hari, saat semuanya terasa gelap
siang itu aku tidur beralas tikar rumput, aku merasa ajalku telah dekat setelah
tiga hari paska kebebasanku tak ada makanan yang hinggap di perutku, ada
seorang polisi cantik keturunan Indonesia membantuku bangun dan memberiku
makan, tempat tinggal, dan mempekerjakanku. Dan beberapa bulan lagi, terhitung
dari tanggal ini aku akan diantarnya menuju tempat dimana aku akan mendapat
pembinaan sebelum aku dikembalikan ke Indonesia. Aku akan sangat bahagia bila
bisa melihatmu setibanya disana, aku akan sangat senang. Terlebih bukan sebagai
sahabat, tapi cinta yang mengembang diantara kita. Aku tidak berharap banyak,
hanya saja, aku mencintaimu Syira. Sampai jumpa.
Wassalamu’alaikum.
Kekasihmu, Amar.
Wajah
Syira sumringah, kekasihnya akan datang. Dia memeluk sahabatnya kuat-kuat,
berharap ada kesejukan setelah meluapkan banjir air matanya. Ani terharu,
memeluk tubuh kurus kering sahabatnya yang menyedihkan. Wajah bahagia terpancar
di wajah mereka.
“Assalamu’alaikum.” Sapa Nanda sembari
melepas senyum yang berat, hati Syira dan Ani gelisah, kalau-kalau Nanda
mendengar semua perkataannya.
“Wa’alaikumsalam.” Jawab
kedua wanita itu dengan sopan. Wajahnya masih tertunduk. Menahan malu.
“Eh mas
Nanda, ini Ani sahabatku waktu di pondok dulu. Mas udah lama pulangnya? Tumben
jam segini udah pulang.” Ucap Syira memecahkan keheningan kala itu.
“Iya,
eh pak ustadz Nanda, saya harus pergi dulu, saya sudah ditunggu suami untuk
segera pulang di rumah ibu. Saya pamit, Assalamu’alaikum.”
Ani cepat-cepat berpamitan tak lama setelah Nanda menyandarkan tubuhnya ke
sofa empuk itu.
Setelah menjawab salam, Nanda
kembali bangkit, mengamati bawah meja mendekati Syira lalu berjongkok,
mengambil secarik kertas yang terjatuh tepat saat Nanda masuk ke ruangan ini.
Di kolong meja itu, di temukannya sebuah
surat bertuliskan tangan kekasih Syira, surat dari Amar. Nanda mengamati sekilas,
lalu berdiri dan mulai membaca kata per kata yang terukir di putihnya kertas
itu. Raut wajah Nanda pucat pasi setelah usai membacanya, tak karuan perasaan
Nanda dan Syira, berkutat dengan angan masing-masing. Di berinya isyarat agar
Syira mengikuti suaminya ke dalam kamar.
Di dalam, terlihat putri kecilnya
tertidur pulas, tak merasakan apa yang terjadi sebenarnya. Nanda, mengambil
koper besar, dan mengemasi barang Syira juga sebagian pakaian bayi mereka.
Syira menangis, membayangkan apa yang akan dilakukan suaminya. Bunga-bunga
merekah manis di luar sana menghias lantai marmer teras rumah mereka, semua
diam membisu, hanya aliran sungai kecil yang terdengar seakan berbisik untuk
tetap tenang.
Di dalam mobil merah itu, diantarnya
Syira dan bayinya pulang menuju rumah ayah Syira. Dalam perjalanan, tak ada
sepatah katapun yang terucap dari bibir Nanda. Semuanya terasa kaku. Hanya
pucuk pohon ditepi jalan yang bergoyang dihempas angin kesana kemari. Langit
mendung namun tetap terik, menerawang apa yang telah Allah gariskan dalam
hidup.
Setibanya dirumah, mereka masuk dan
Syira serta anaknya masuk ke dalam sebuah bilik utama dekat ruang tamu,
sementara Nanda membicarakan hal serius dengan ayah mertuanya. Syira di kembali
ke rumah orang tuanya karena kesalahannya, rasa malu yang di dapat dirinya dan keluarganya,
memaksanya terus mengurung diri di kamar. Tubuhnya yang telah kurus terus
terpers sarinya bersisa tulang, yang dilakukannya hanya terdiam pada setiap
orang yang datang padanya. Makanan dimeja tak pernah disambarnya hanya
melihatnya saja sudah kenyah, duduk di dekat jendela, menanti sang pujaan
datang dan membukakan pintu yang sebenarnya. Penantian demi penantian
terlewati, hingga ia jatuh sakit dan terkapar di kursi roda, harapannya usai,
rumah tangganya hancur.
***
“Syira, ini sahabatmu. Ani, bukakan
pintunya untukku.” Ucap Ani di depan kamar sahabatnya. Setelah mendengar kabar
perceraian itu, Ani bersikeras untuk menemuinya. Tidak ada jawaban. Tapi tak
lama terdengar suara kunci pintu
terbuka.
“Ani..” Syira langsung menangis di pelukan
sahabatnya.
“Sudahlah Ra, aku ingin mengabarkan
keadaan Amar. Amar tiba dirumah satu minggu yang lalu, aku tidak tahu apa ini
membantumu tapi temui dia. Ayo pergi, ku antar kamu.” Ajak Ani pada Syira yang
semakin memburuk keadaannya. Diantarnya Syira menuju rumah Amar.
Sesampainya di rumah Amar,
diturunkannya Syira dari mobil, di naikkan ke kursi roda. Suasanya mencekam,
langit begitu mendung bersiap memuntahkan halilintarnya. Di depan rumah tua
itu, dilhatnya bendera putih berkibar dengan pilu. Innaillahiwainnaillahiroji’un. Ibu Amar meninggal beberapa jam
sebelum Syira dan Ani sampai di depan rumah itu. Syira dengan cemas menanti
detik demi detik membawa serta kekasih yang tlah lama tak di jumpainya.
“Syira..Kaukah itu?” Panggil
seorang pria di belakangnya, suara yang tidak berubah selama tiga tahun
lamanya. Syira berbalik menghadap Amar. Syira berpegang erat pada kursi rodanya
agar dia tak roboh mendapati suatu hal yang sangat dia rindukan. Sang kekasih.
“Amar.” Amar mendekat kearah Syira,
berjongkok lalu bersimpuh dan menghadapkan mukanya persis di depan Syira. Wajah
wanita itu sungguh mampu membuat jiwa Amar terlepas dari tambatannya. Ini adalah
saat yang paling di nantikan olehnya setelah penantian yang panjang. Air
matanya semakin deras berjatuhan.
“Lama sekali kamu pergi, Amar?
Tidakkah kau merindukanku?.” Amar terpaku, yang bisa dilakukannya hanyalah
memeluk wanita yang sangat di cintainya. Tidak ada yang perlu dijelaskan, cukup
hati mereka yang berbicara, semuanya terjawab tanpa keraguan.
Amar mengayunkan tangannya di wajah
Syira, ,menghapus air matanya. Tatapan mereka penuh kasih. Cuaca bergeser
membawa harapan baru. Angin senja mengantar matahari menuju persinggahannya.
Dari sini, langit malam tampak luas dan jernih. Cuaca menjelang malam nan cerah
membuat bintang-bintang di angkasa berkilau bak intan berlian. Wahai insan yang
mencinta, berbahagialah. []
Halo, semuanya, tolong, saya dengan cepat ingin menggunakan media ini untuk membagikan kesaksian saya tentang bagaimana Tuhan mengarahkan saya kepada pemberi pinjaman yang benar-benar mengubah hidup saya dari kemiskinan menjadi seorang wanita kaya dan sekarang saya memiliki kehidupan yang sehat tanpa tekanan dan kesulitan keuangan,
BalasHapusSetelah berbulan-bulan mencoba mendapatkan pinjaman di internet dan saya telah ditipu dari 400 juta, saya menjadi sangat putus asa dalam mendapatkan pinjaman dari kreditor online yang sah dalam kredit dan tidak akan menambah rasa sakit saya, jadi saya memutuskan untuk meminta saran kepada teman saya tentang bagaimana cara mendapatkan pinjaman online, kami membicarakannya dan kesimpulannya adalah tentang seorang wanita bernama Mrs. Maria yang adalah CEO Maria Loan. Perusahaan
Saya mengajukan jumlah pinjaman (900 juta) dengan suku bunga rendah 2%, sehingga pinjaman yang disetujui mudah tanpa stres dan semua persiapan dilakukan dengan transfer kredit, karena fakta bahwa itu tidak memerlukan jaminan untuk transfer. pinjaman, saya hanya diberitahu untuk mendapatkan sertifikat perjanjian lisensi mereka untuk mentransfer kredit saya dan dalam waktu kurang dari dua jam uang pinjaman telah disetorkan ke rekening bank saya.
Saya pikir itu lelucon sampai saya menerima telepon dari bank saya bahwa akun saya telah dikreditkan dengan jumlah 900 juta. Saya sangat senang bahwa akhirnya Tuhan menjawab doa saya dengan memesan pemberi pinjaman saya dengan kredit saya yang sebenarnya, yang dapat memberikan hati saya harapan.
Terima kasih banyak kepada Ibu Maria karena telah membuat hidup saya adil, jadi saya menyarankan siapa pun yang tertarik mendapatkan pinjaman untuk menghubungi Ibu Maria dengan baik melalui E-mail (mariaalexander818@gmail.com) ATAU Via Whatsapp (+1 651-243 -8090) untuk informasi lebih lanjut tentang cara mendapatkan pinjaman Anda,
Jadi, terima kasih banyak telah meluangkan waktu Anda untuk membaca tentang kesuksesan saya dan saya berdoa agar Tuhan melakukan kehendak-Nya dalam hidup Anda.
Nama saya adalah kabu layu, Anda dapat menghubungi saya untuk referensi lebih lanjut melalui email saya: (kabulayu18@gmail.com)
Terima kasih semua.