Metal Pointer Adina's Blog: CERPEN 'MAMA'

Selasa, 27 Maret 2018

CERPEN 'MAMA'

Mama
Adina Febriyanti

M
entari mulai menampakkan rupa menawannya dibalik kanvas tinta jingga yang menenangkan. Bintik embun menggantung manis dipucuk dedaunan menghijau. Gemericik air memecah sepi di pagi buta ini. Hembusan angin membangkitkan Syifa untuk kembali kedalam kehidupan yang real yang semalam ditinggalkannya berkelana dalam alam maya memainkan imajinasinya. Dunia yang indah tapi entah mengapa ada suatu sudut kehidupan yang belum terjamah dan terisi, membuatnya begitu kosong. Disinilah Syifa, seorang pemimpi yang begitu haus akan kasih sayang, terpuruk, mengasingkan diri, dan mencoba menjauh dari bayang-bayang kenyataan yang begitu pahit. Terperosok dalam kubangan kepedihan tanpa ujung.
Syifa masih tidur terlentang diranjang rapuh itu. Menatap langit-langit putih kamar kost 4x4 meter yang di diaminya bersama temannya selepas pergi dari rumah sebagai tanda penolakan dengan munculnya mama baru yang mengganti posisi mama kandungnya yang meninggal satu setengah tahun silam. Yang ada dalam pikirnya hanyalah emosi yang menggebu, bagaimana papanya bisa secepat itu melupakan istri yang dulu sangat dicintainya, sedang masih teringat jelas bagaimana terpukulnya  saat harus menyaksikan orang yang sangat dicintainya meninggal dunia, meninggalkannya dan juga papanya.. Tidak ada tempat bercanda, tempatnya untuk bercerita panjang lebar mengenai hal yang baru saja dialami, dan tidak ada lagi mama  dimana dipangkuannya biasa dia bergelayut manja.Kemarahanya meledak tak kalah keras dengan perkataan yang membuatnya semakin tak gentar memproklamasikan ketidak setujuannya dengan mama baru yang sama sekali tidak disukainya.
“Kamu tidak menyukai mama barumu kan? Kamu bukan anak papa lagi!” petir menghujam hati rapuhnya, dan dengan langkah gontai ditinggalkannya istana penuh kenangan yang dicintainya.
Syifa terombang-ambing dalam arus kehidupan dengan berjuta karang yang berdiri kokoh siap menghantam saat  lengah berlayar. Semenjak kedatangannya ke kota ini, kota yang berjarak berpuluh-puluh kilometer dari kota kelahiran di Jogja, Syifa harus bergantung pada kehidupan yang sangat keras, dia menggantungkan hidupnya dari pekerjaan paruh waktu sebagai seorang waiter di sebuah café yang cukup terkenal di dekat kampusnya.
                                                                                                ***
“Della Assyifa Ummar!” bentak dosen akuntansinya yang terkenal dengan kegarangannya itu. Dosen itu tak pernah memanggil nama lengkap Syifa jika ia tidak benar-benar marah. Nampaknya Syifa telah melemparkan bom pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia tertidur saat celotehan dosen menggelegar seisi ruangan. Dosen super killer itu berdiri angkuh tepat didepannya dengan sebatang penggaris raksasa yang dicengkeram erat dengan tangan kanan sedang tangan kirinya berkacak pinggang dengan wajah yang merah padam ditambah dengan sepasang mata berkacamata yang memelototi Syifa menjadi cerita horor di siang bolong.
“Sabar ya Syifa.” Ucap Rita teman sebangkunya sembari menepuk pundak dengan wajah pesimis atas semua yang akan ditanggung sahabatnya itu. Seisi kelas tegang merasa iba dan khawatir mengira-ira apa yang terjadi selanjutnya setelah Bu Afi, dosen yang terkenal dengan kegarangannya itu mengisyaratkan Syifa unyuk mengikuti langkahnya. Digeretnya kaki dengan langkah yang tak menentu. Mengingat kejadian-kejadian yang menimpa sebelumnya bersama guru super duper killer ini.
Tepat di depan gedung kantor berdiri kokoh tiang bendera kokoh yang dipuncaknya menggantung sang merah putih kebanggaan, disuruhnya hormat di bawah terik matahari yang menyengat. Dia terus menggerutu dan memaki diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa dia tertidur di kelas dosen killer itu? Bodoh sekali pikirnya. Matanya mulai buram terlalu lama tersengat terik matahari. Tiba-tiba saja tubuhnya lemas, terik matahari tak lagi dapat dirasakan, matanya terpejam, sesaat kemudian tubuh serasa sangat ringan tanpa beban. Satu-satunya yang bisa ia dengar hanya segerombol anak yang bersorak-sorai melantunkan lagu Happy Birthday To you di seberang sana.
“Hay? kamu baik-baik saja? Bisa dengar aku?.” Tanya seorang pria yang tak pernah dilihat Syifa lihat sebelumnya. Dia tertegun. Matanya menatapnya dengan tatapan yang tulus dan sekilas terlihat khawatir.
“Iya.” Jawabnya seadanya.
“Aku Syarief. Siapa namamu?.” Ucapnya ramah. Syifa hanya terpaku mengamati wajah dan bibirnya yang tersenyum simpul. Syifa terhenyak, sejenak mengagumi keindahan seorang pria sedekat ini hampir tak pernah terfikirkan olehnya. Lalu Syarief menjulurkan tangan padanya.
“Syifa.” Jawabnya menyambut tangan Syarief. Syifa mengamati sekelilingnya, tembok ruangan di cat warna hijau, ada beberapa ranjang kosong di samping lengkap dengan bantal dan selimut. Bau diruangan itu khas dengan obat-obatan. Diamati sekelilingnya tak ada orang selain dirinya dan Syarief. Hanya berdua.
“Aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Aku di jurusan Sastra Inggris. Sepertinya kamu dari jurusan lain. Iya kan?.” Celotehnya tanpa jeda
“Hehe kamu seperti peramal. Tak perlu aku katakan, kamu sudah mengetahuinya. Oh iya bagaimana aku bisa sampai disini?.” Ucap Syifa saat merasa mulai siuman. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh arti, mungkin tanpa pria ini Syifa sudah menjadi ikan asin diluar sana.
“Oh iya. Aku dan teman-temanku menemukan kamu dibawah tiang bendera saat aku baru menyelesaikan ritual ulang tahunku. Kamu begitu lemas dan ambruk.” Begitu ujarnya. Lantas mereka mulai bercakap-cakap dengan akrabnya. Mereka sangat cepat mengenal.
“Terimakasih ya sudah membantuku. Kalau kamu tidak membawaku kesini, mungkin aku sudah menjadi ikan asin yang terbakar sinar matahari sekarang.” Ucap Syifa saat tiba di depan kamar kosnya.  Iya. Syarief menawarkan diri untuk menantarnya pulang. Dia sempat menolak dengan beberapa alasan tapi karena Syarief memaksa, akhirnya Syifa pun diantarnya. Tubuhnya sangat atletis, kulitnya sawo matang dan wajah khas indo-nya benar-benar menggetarkan hati seorang Syifa.
“Baiklah. Sama-sama. Senang bertemu denganmu. See you again, Syifa!” ucapnya sembari melambaikan tangan.
See you too. Syarief.” Balas Syifa sembari membalas lambaian tangannya. Dan mengakhiri pertemuan Syifa dengannya dengan senyuman.
                                                                                                ***
                Sejak pertemuan pertama kali, hubungan mereka semakin dekat. Seperti sepasang merpati putih yang terbang kesana kemari melukiskan kisah cinta nan manis diatas awan.
“Syifa? Kamu ikut  acara camp minggu depan kan?.” Tegur Syarief saat melihat Syifa duduk di tengah taman dibawah pohon rindang ditengah kota.
“Tentunya. Tapi aku takut liburan nanti akan merepotkan teman-temanku dan mengganggu event camp yang ditunggu-tunggu ini mengingat keadaanku yang mudah sekali drop.” Balas Syifa menuturkan alasannya. Memandang birunya langit yang menenangkan di batas senja.
 “Tidak usah takut, aku kan bersamamu. Aku akan menjagamu.” Ucap Syarief dengan nada bersemangat. Memasang lagak seperti pahlawan yang tengah berkobar-kobar semangatnya mengibarkan bendera merah putih kebanggaan Indonesia. Begitulah Syarief, dengan tingkah lucunya mampu menghilangkan gundah dalam hati orang yang berada di sampingnya. Senyumnya indah, tenang, setenang ayunan rumput-rumput di lahan hijau saat angin malam berhembus mesra.
“Benarkah?.” Wajah Syifa berbinar mendengar apa yang baru saja didengarnya. Menenangkan kepenatan dalam hatinya. Syarief, sosok sempurna yang bisa membuat semua makhluk begitu mendambakan ketulusan hati yang terpancar dari ketulusan hatinya. Nampak raut muka Syifa seketika berubah, setenang embun, lalu memudar begitu saja.
                                                                                ***
Waktu yang di tunggupun tiba, Camp yang sangat menggairahkan saat didengar ini sangat menarik. Sangat tidak sabar para mahasiswa menantikan Biggest Even yang diselenggarakan kampus. Acara yang sangat meriah. Luar biasa indah, juga melelahkan.
Syifa duduk di samping api unggun yang sudah hampir padam, namun masih cukup panas untuk mengenai wajahnya yang ayu. Abu-abu bertebaran sekelabu hatinya, kemerlap bintang setia menemaninya memetik senar gitar menyenandungkan lagu yang mewakili kobaran api didada.
Dimana akan kucari, aku menangis seorang diri
Hatiku slalu ingin bertemu untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku
Ayah  dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi
 “Selamat malam tuan putri.” Seorang mendekatkan wajahnya di telinganya Syifa. Menatap dengan binar di matanya.
“Syarief, kau mengagetkanku!!.” Ucapnya sambil memukul-mukul pundak teman dekatnya itu dengan gemas.
“Maafkan aku, aku hanya terbuai dengan alunan musik yang kamu nyanyikan. Aku yakin kamu pasti mewarisi bakat seni!.” Timpal SYarief dengan nada yang luar biasa semangat.
“Hmm..iya, mungkin. Mamaku dulu seorang penyanyi. Kami sering mengisi waktu dengan bernyanyi bersama. Tapi sekarang tidak, dia sudah tiada.” Jawabnya singkat, menerawang ingatan akan wajah cantik mamanya dengan jari-jari lincah menekan piano dan mengalunkan nada indah.
                “Lalu papamu?.” Tanya Syarief menyelidik.
                “Papaku menikah lagi dengan seorang wanita. Dan dialah yang membuatku disini, sebenarnya aku lebih suka bersama dengan papa, tapi aku rasa aku belum siap menerima pengganti mamaku.” Air seketika merambat ke pipinya, mengenang kebersamaan keluarga kecilnya dulu. Dia bahkan tak pernah mau mengenal dan sekilas melihat rupa mama barunya itu. Tak sanggup rasanya melihat papanya bersanding dengan wanita lain.
                “Cepat atau lambat kamu akan menemuinya, ini sudah takdir.” Ucapnya penuh makna. Dielusnya rambut gadis cantik yang tergerai manis didepannya dan segera pergi.
                                                                                                ***
                “Aku mengenal mamamu dari kecil, bahkan kita merencanakan pernikahan itu sebelum mamamu meninggal Syifa. Sebenarnya ini adalah permintaan terakhir dari mamamu, dia ingin mencari penggantinya agar kamu tidak terombang-ambing setelah mamamu pergi. Suatu hari mamamu menitipkan kamu dan papamu pada tante dan memastikan bahwa tante aka nada disampingmu. Beliau bahkan melingkarkan cincin pernikahannya di jari manis tante, dan membuat tante berjanji untuk merawatmu. Maafkan tante Syifa, tante bukan ingin merebut papamu darimu. Tante hanya ingin menjalankan amanat mamamu, dan Syarief, dia adalah saudara jauh tante. Pernah suatu ketika dia menunjukkan fotomu dan papamu segera meminta informasi dari Syarief. Maafkan tante setelah sekian lama baru mencarimu. Ayahmu sekarang sedang sakit, ikutlah tante pulang, disanalah rumahmu Syifa.” Air mata berlinang membanjiri pipi wanita berkerudung yang menghampirinya tepat ketika Syifa baru membuka jendela tendanya pagi itu. Dia adalah suami papa Syifa. Ya, orang yang begitu dibencinya dulu. Begitu jelas raut wajahnya pucat pasi. Sejenak terdiam dan merenung apa yang dikatakan seorang wanita yang memperkenalkan dirinya bernama Halimah. Tante Halimah. Begitu Syifa memanggilnya. Syifa segera menaiki mobil wanita yang baru dikenalnya itu. Mobilnya meluncur melesat di tengah keramaian ibukota.
                “Papa..” Panggil Syifa selepas melihat tubuh papanya terbaring tak berdaya di ranjang pasien dengan aliran infus yang tersumpal dilengannya. Dilihatnya wajah papa yang sangat dicintainya. Dia memeluk papanya, suasana haru seketika merebak. Halimah pergi meninggalkan mereka berdua untuk melepaskan dahaga rindu mereka.
                “Syifa, maafin papa ya. Papa ngga berniat menyakiti hatimu, sebenarnya papa tidak tega tapi itulah pesan terakhir mamamu. Dan sekarang Halimah sedang mengandung adikmu, maukah kamu menerima adik dan juga ibumu itu?.” Wajahnya berkaca-kaca menanti jawaban anak kesayangannya itunya. Dia mengangguk. Lalu merengkuh kembali tubuh lemah yang terbaring itu.
                “Tapi papa harus sembuh sekarang, adikku pasti tidak senang melihat papa sakit.” Wajah sumringah kembali nampak dibalik air mata yang belum sepenuhnya kering.
                “Maafin Syifa tante, sudah berprasangka buruk selama ini.” Ucap Syifa selepas beranjak dari kamar ayahnya. Wajah mereka penuh haru.
                “Nggak papa kok Syifa, tante seneng kamu kembali sekarang. Tante sayang sama Syifa, jangan pergi lagi ya sayang.” Jawabnya sembari mengelus rambut panjang Syifa yang terurai bebas di punggungnya. Syifa melepas pelukannya.
                “Iya janji deh tante Halimah, eh.. mama.” Senyum mengembang diwajah mereka.
                                                                                                ***
                Pagi yang cerah, pohon-pohon menari diterpa terjangan angin dan menggugurkan daun keringnya di tepi makam. Di batu nisan tertulis namanya, Amri. Mama kandung Syifa. Di atas makam masih tertata rapi bunga yang baru Syifa taburkan, semerbak wangi bunga-bungaan bercampur wewangian memberikan kesan mendalam di pagi yang ceria ini.

                “Mama, maafin kesalahan Syifa yang menolak pilihan mama. Syifa akan memperbaikinya. Oh iya, Syifa akan segera punya adik. Terimakasih buat segalanya ya ma, juga buat mama baru untuk Syifa. Syifa benar-benar menyayanginya sekarang. Syifa juga sekarang sudah memiliki pujaan hati ma, Syarief, pria yang sudah mempersatukan keluarga kita lagi.”

1 komentar:

  1. Prediksi Togel HK Mbah Bonar 21 Februari 2020 Ayo Pasang Angka Keberuntunganmu Disini Gabung sekarang dan Menangkan Hingga Ratusan Juta Rupiah !!!

    BalasHapus