Waktu
Adina Febriyanti
M
|
alam yang indah, bulan memamerkan
purnama bulatnya sembari tersenyum berteman bintang yang menghambur di atas
birunya langit malam sesaat setelah senja menjelang. Aku berjalan di hamparan
pasir putih yang membentang di sepanjang bibir pantai. Ombak merayap dan
menyapu pasir di tepinya. Angin berdesir menyenandungkan alunan romansa tanpa
ujung. Pelepah kelapa tepat di atas kepalaku mengayun seindah alunan syair di benakku
. Tatapanku menerawang jauh di ujung sana, malam yang sama tujuh tahun silam.
Suasana ini membawaku terombang ambing bersama ombak jauh di dalam memori
otakku. Ada begitu banyak ingatan dan kenangan yang memaksa menyembul dalam
otakku. Setiap lekuk dan sisi dalam otakku terisi penuh dengan guratan guratan
kenangan yang menyesakkan. Otakku seakan
penuh sesak dan menggembung tak tertahankan, begitu banyak kenangan yang muncul
malam ini membuatku hanya terpaku pada satu ujung, ujung yang menyesatkan.
“Mungkin
sudah cukup sampai disini, kali ini. Aku sudah muak dengan setiap celoteh
pertempuran kita, aku tak yakin bisa terus merajutnya saat pertengkaran kita
membuatnya semakinparah.” Tuturnya lewat
bibir yang tersisa manis katanya, kini terlihat muram nan kusut.
“Tidak,
jangan lagi kata itu. Sudah jangan merobeknya lagi, aku akan melepaskan benang
ikatan kita dengan halus. Agarlah tiada yg kusut dan terluka lagi. Jangan
terlalu memaksakan kehendak untuk terus bersanding, kita tidak tertulis dalam
takdir untuk saat ini.” Balasku, menyeka air yang mendesak keluar mataku. Ku
tutup malam itu dengan segala amarah yang meletup letup dan kecewa yang menjadi.
Kami pergi kearah berlawanan, saat-saat terakhir kulihat mata itu nanar
melihatku. Kini mata yang mengalunkan keluh kesahnya. Mata kami bertautan,
enggan melepas satu sama lain, mata kami saling memeluk dengan mesranya dan
menjerit histeris. Terseok-seok. Jangan pergi, jangan pergi!!
Aku
melenggang ke lorong jiwa, menghampiri setiap rasa dalam kalbu yang tertimbun
kenangan kelam. Mencari satu titik terang yang bisa ku jadikan penerang,
penunjuk jalan. Hatiku gersang, panas dan hujan tak bisa menyuburkan perasaan
yang ada di dalamnya. Rasa yang telah lama terabaikan, cinta tanpa pembalasan,
dahaga rindu tanpa pemuas. Aku masih mencari, mencari setitik cahaya dibalik
kehampaan ini. Mencari jawaban, apakah penantian ini sudah berakhir? Apakah
janji yang terikrar sudah menjelma menjadi pengkhianatan?
***
Semburat
kilauan mentari membangkitkan malam panjangku, menyelami keterpurukan yang
tiada henti, terus mengalir dan menyeretku semakin jauh di jurang nestapa.
Begitupun hatiku yang hampa kosong hilang isi menguap tanpa arti, seperti
bintik embun yang mulai hangus diterpa terik sinarnya pagi ini. ‘Dia spesial
bagiku, dia yang selalu mengingatkanku untuk bertahan bersamamu. Mengertilah.’
Kalimat itu masih terngiang-ngiang dalam ingatanku selepas kututup malam dengan
butiran obat tidur yang kuteguk bersama kekecewaanku. Kusongsong pagi ini
dengan guratan lengkungan dari bibirku, berharap hari yang cerah ini bisa
membawa asa yang baik untuk hidupku kedepan. Aku, Zaira. Aku adalah seorang penulis
sekarang ini. Aku menulis semua yang aku bisa, yang ku lakukan cukup mudah, aku
hanya berbekal kemampuan berbahasaku yang cukup lihai mencari suatu topik dan
ide lalu mengolah juga mengutak-atik kata perkata dan kususun menjadi sebuah
kalimat dan jadilah sajian yang mantap di tampilkan di pasar umum. Aku melakukan
semua trik sulapku untuk mengubahnya menjadi menarik. Tentunya aku sudah cukup
sukses saat ini, didasarkan pada anganku sejak umur 15 tahun dulu. Aku yang
berbekal pengalaman kisah cinta monyet dan menuangkannya dalam sebuah tulisan
tangan. Sejak itu, untaian kata adalah hal yang dapat aku lahirkan setiap saat,
kapanpun aku mau dan tersambar sebuah ide. Aku beranak pinak, menjadikan
lembaran demi lembaran buku sebagai kotak bayiku. Aku hidup sendiri, memutuskan
tinggal di tempat yang jauh dari orang tua adalah pilihanku. Aku menetap disini
bukan tanpa alasan, aku ingin bersantai sembari menikmati kenangan indah yang
sempat terlukis di masa lalu, sebuah cinta monyet. Yang kurasakan di kota ini
semakin kering seiring tercemarnya udara yang dulunya adalah primadona, sangat
menyejukkan. Aku sudah di ajukan untuk berpindah ke kota lain untuk
mengembangkan bakat emas yang kimuliki, namun aku tak kuasa meninggalkan kota
tercinta ini. Aku lebih memilih melanjutkan karyaku di tempat ini sembari
menunggu sesuatu yang sangat ku tunggu, sesuatu yang telah dijanjikan tujuh
tahun silam, sebuah salam perpisahan yang manis. Kini sudah tujuh tahun
berlalu, tanpa kabar dan aku hanya bergantung pada kepercayaan yang sudah
membatu ini. Menunggu ujung penantian yang terkulai. Usman, setiap hari ku
alunkan nada rinduku berharap akan sampai tepat pada waktunya. Kembalilah!! Aku
sudah menunggumu seperti yang kau ingini.
***
Hari berganti, bahkan
setelah tujuh tahun, tak kunjung ku temukan penghujung penantian ini. Ku gayuh
sepeda kesayanganku mengelilingi alun-alun kota. Burung menukik dari sarangnya
menghambur menikmati biru udara kota selepas fajar bertengger. Mentari kian
gencar menyinari cakrawala, panasnya tak terbendung hinggap di sekujur tubuhku.
Dalam sekejap, aku kehilangan fungsi indraku secara perlahan, terakhir kali
yang dapat aku lihat dalam kabur adalah lalu lalang orang yang ada di sebelahku.
Mereka melihat kearahku dengan muka cemas. Diantara mereka ada yang menggenggam
telepon dengan gemetar. “119!! 119!! Cepat!!” ucap seorang lelaki
berulang-ulang, aku tak dapat berkata apapun saat itu. Tunggu, aku melihat
seseorang yang tak asing bagi mataku, orang yang selalu hadir dalam angan dan
orang yang tanpa izin menemani mimpiku. Sekejap saja, ku merasakan ada berat
yang berada diatas kelopak mataku, memaksaku memejamkan mata dan mengakhiri
pemandangan menakjubkan, sosok orang yang aku tunggu selama ini, lelaki
pujaanku. Usman!!
“Anda
sudah sadar? Beruntung sekali anda bisa selamat setelah semua yang terjadi.”
Ucap seorang lelaki jangkung paruh baya berseragam putih dengan riang melihatku
membuka mata. Aku tertegun saat menilik ke berbagai sudut ruangan ini, hanya
jajaran ranjang dengan beberapa orang berbaring serta infuse yang menggantung.
Aku bisa merasakan jantungku memompa seirama dengan tetesan larutan yang keluar
dari infuse yang gaung suaranya begitu memekakan telinga. Aku hanya bisa
membaringkan tubuhku di ranjang nan membosankan ini. Bosan menunggu pulih
berteman aliran infuse yang menelusup di tubuhku. Aku ingin pulang, otak ini
terlalu membusung untuk terus di diamkan seperti ini, aku rindu kotak bayiku,
aku ingin melahirkan sajak dan kata-kataku lagi. Aku rindu suasana rumah yang
hening, berteman cahaya temaram dan goresan tinta.
***
Mentari
meninggalkan peraduannya menampakkan kilau menyinari mimpi panjangku,
melenggang menapaki buana berhiaskan biru udara memantul di hadapan mirat
membiaskan cahayanya. Ku ayunkan kakiku menuju pintu kaca, menyingkap tirai dan
membiarkan sinar mentari menerobos masuk di sela celah-celahnya. Mataku terbuka
lebar diterpa pelukan hangat sinarnya,
pipiku mulai bergerak. Bibirku mulai melengkung, menyambut matahari
dengan keramahannya. Aku siap berinteraksi lagi, kembali dalam rutinitasku
melahirkan untaian kisah baru. Ku hidupkan mesin mobil hitam yang mengkilap di
bagasi yang mulai berdebu setelah kutinggal dua minggu selepas kejadian itu, sungguh
peristiwa yang mendebarkan. Daun-daun di pinggir jalanan ini melambaikan
daunnya menyambutku dengan senyuman yang menghijau di pagi secerah ini.
Kini
aku telah menapaki beranda kantor yang mencakar langit, setelah sekian lama
menanti saat-saat ini aku bisa kembali disini. Lantai pualam yang mengkilap,
pintu kaca yang bening, dan bunga-bunga mekar nan manis yang ditopang vas
cantik seperti menyambut kembalinya aku ke dunia ini. Para karyawan berlalu
lalang di depanku, menyambutku dengan ramah. Dan lihat, semua disini sangat
indah.
“Zaira…”
Deg! Jantungku bertalu mendengar sapaan dari suara itu, sama seperti tujuh
tahun lalu. Aku berusaha memalingkan wajahku dan memantapkan tatapanku pada
sosok itu. Tubuhku bergetar hebat saat harus ku putar seratus delapanpuluh
derajat menuju arah tempatnya. Mata kami saling memandang, mulutku terkunci,
aku tidak dapat mengeluarkan keluh kesahku selama tujuh tahun silam. Aku
terkalahkan dengan desakan hatiku, mata mengucurkan airnya. Kekosongan terus
menyesakki rongga batinku, usai terpekur lama dalam hening. Mulutnya mulai
terbuka, mencoba menuturkan apa yang terjadi selama ini. Jantungku berpacu
kencang mendengar kata-katanya.
“Maafkan
aku Ra, aku tidak bermaksud mengingkari janji kita. Maafkan aku pula tak bisa
menemanimu saat kamu terbaring lemah, aku takut semuanya akan bertambah buruk.
Maafkan aku sudah meninggalkanmu selama ini. Maafkan aku Ra, aku sudah
mencarimu beberapa bulan ini. Dan saat kecelakaan itu, aku begitu malu pada
diriku sendiri tak bisa melindungimu. Aku takut untuk menghadapimu lagi, aku
takut menyakitimu. Aku harus berbicara padamu, itu yang aku lakukan saat ini,
aku minta maaf Ra baru menemuimu setelah sekian lama.” Pintanya dengan memelas,
matanya terpejam, memalingkan wajah manisnya dari pandanganku, itu batas
kemampuannya dan aku tahu itu.
“Tak
apa Usman, lihat aku sekarang bisa berdiri disini menemuimu. Aku sudah
memaafkanmu jauh sebelum bibirmu mengatakan itu, aku senang kamu kembali.”
Ucapku sembari memasang gelang berwarna hijau gelap yang ku ambil dari tasku,
gelang dari bahan kulit yang dikepang itu di pergelangan tangannya yang kekar.
“Kamu
tahu? Aku membeli gelang ini pada saat study wisata sekolah saat aku masih SMA
dulu. Namun takdir memisahkan kita, kamu berpaling dariku begitu saja saat itu.
Meninggalkanku dengn beribu harap. Kau tahu? Sudah tujuh tahun lamanya gelang
ini terus bertengger dalam tasku, sembari berharap aku bisa memakaikan ini di
tanganmu. Saat pertemuan kita lagi, dan sekarang aku bahagia bisa melihatmu.
Terimakasih telah kembali.” Tuturku sambil menyeka air mata yang membuyar tak
karuan, berharap aku bisa menyembunyikannya. Ku urai lagi isi dunia lewat
tatapan. Begitu berbinar dan meneduhkan.
Kini semua luluh, hidup seolah
dalam melodrama yang mengharu biru. Semua beban di kehidupanku selama ini
terangkat ke ujung petala yang merekah. Luka yang selama ini menganga terjahit
oleh susunan embun yang menyegarkan. Kali ini, aku merasa benar-benar bebas
dari belenggu masa laluku. Sebelumnya aku yang terus hidup untuk ‘masa lalu’
kini berganti dengan ‘sekarang’ yang menggelora. Angin lembut mengurai
satu-persatu anak rambut Usman, ada berjuta kehangatan yang terpantik di
dalamnya. Akhir cerita takkan mengkhianati sebuah penantian yang terbujur lama.
Memenuhi dahaga rindu dengan setitik air dari surga, surga dari sebuah
penantian. Meski senja kesumba menutup fajar, sang bintang bersiap
mendampingimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar