Metal Pointer Adina's Blog: CERPEN 'WAKTU'

Senin, 26 Maret 2018

CERPEN 'WAKTU'

Waktu
Adina Febriyanti

M
alam yang indah, bulan memamerkan purnama bulatnya sembari tersenyum berteman bintang yang menghambur di atas birunya langit malam sesaat setelah senja menjelang. Aku berjalan di hamparan pasir putih yang membentang di sepanjang bibir pantai. Ombak merayap dan menyapu pasir di tepinya. Angin berdesir menyenandungkan alunan romansa tanpa ujung. Pelepah kelapa tepat di atas kepalaku mengayun seindah alunan syair di benakku . Tatapanku menerawang jauh di ujung sana, malam yang sama tujuh tahun silam. Suasana ini membawaku terombang ambing bersama ombak jauh di dalam memori otakku. Ada begitu banyak ingatan dan kenangan yang memaksa menyembul dalam otakku. Setiap lekuk dan sisi dalam otakku terisi penuh dengan guratan guratan kenangan yang menyesakkan. Otakku  seakan penuh sesak dan menggembung tak tertahankan, begitu banyak kenangan yang muncul malam ini membuatku hanya terpaku pada satu ujung, ujung yang menyesatkan.
                “Mungkin sudah cukup sampai disini, kali ini. Aku sudah muak dengan setiap celoteh pertempuran kita, aku tak yakin bisa terus merajutnya saat pertengkaran kita membuatnya  semakinparah.” Tuturnya lewat bibir yang tersisa manis katanya, kini terlihat muram nan kusut.
                “Tidak, jangan lagi kata itu. Sudah jangan merobeknya lagi, aku akan melepaskan benang ikatan kita dengan halus. Agarlah tiada yg kusut dan terluka lagi. Jangan terlalu memaksakan kehendak untuk terus bersanding, kita tidak tertulis dalam takdir untuk saat ini.” Balasku, menyeka air yang mendesak keluar mataku. Ku tutup malam itu dengan segala amarah yang meletup letup dan kecewa yang menjadi. Kami pergi kearah berlawanan, saat-saat terakhir kulihat mata itu nanar melihatku. Kini mata yang mengalunkan keluh kesahnya. Mata kami bertautan, enggan melepas satu sama lain, mata kami saling memeluk dengan mesranya dan menjerit histeris. Terseok-seok. Jangan pergi, jangan pergi!!
                Aku melenggang ke lorong jiwa, menghampiri setiap rasa dalam kalbu yang tertimbun kenangan kelam. Mencari satu titik terang yang bisa ku jadikan penerang, penunjuk jalan. Hatiku gersang, panas dan hujan tak bisa menyuburkan perasaan yang ada di dalamnya. Rasa yang telah lama terabaikan, cinta tanpa pembalasan, dahaga rindu tanpa pemuas. Aku masih mencari, mencari setitik cahaya dibalik kehampaan ini. Mencari jawaban, apakah penantian ini sudah berakhir? Apakah janji yang terikrar sudah menjelma menjadi pengkhianatan?
                                                                                                ***
                Semburat kilauan mentari membangkitkan malam panjangku, menyelami keterpurukan yang tiada henti, terus mengalir dan menyeretku semakin jauh di jurang nestapa. Begitupun hatiku yang hampa kosong hilang isi menguap tanpa arti, seperti bintik embun yang mulai hangus diterpa terik sinarnya pagi ini. ‘Dia spesial bagiku, dia yang selalu mengingatkanku untuk bertahan bersamamu. Mengertilah.’ Kalimat itu masih terngiang-ngiang dalam ingatanku selepas kututup malam dengan butiran obat tidur yang kuteguk bersama kekecewaanku. Kusongsong pagi ini dengan guratan lengkungan dari bibirku, berharap hari yang cerah ini bisa membawa asa yang baik untuk hidupku kedepan. Aku, Zaira. Aku adalah seorang penulis sekarang ini. Aku menulis semua yang aku bisa, yang ku lakukan cukup mudah, aku hanya berbekal kemampuan berbahasaku yang cukup lihai mencari suatu topik dan ide lalu mengolah juga mengutak-atik kata perkata dan kususun menjadi sebuah kalimat dan jadilah sajian yang mantap di tampilkan di pasar umum. Aku melakukan semua trik sulapku untuk mengubahnya menjadi menarik. Tentunya aku sudah cukup sukses saat ini, didasarkan pada anganku sejak umur 15 tahun dulu. Aku yang berbekal pengalaman kisah cinta monyet dan menuangkannya dalam sebuah tulisan tangan. Sejak itu, untaian kata adalah hal yang dapat aku lahirkan setiap saat, kapanpun aku mau dan tersambar sebuah ide. Aku beranak pinak, menjadikan lembaran demi lembaran buku sebagai kotak bayiku. Aku hidup sendiri, memutuskan tinggal di tempat yang jauh dari orang tua adalah pilihanku. Aku menetap disini bukan tanpa alasan, aku ingin bersantai sembari menikmati kenangan indah yang sempat terlukis di masa lalu, sebuah cinta monyet. Yang kurasakan di kota ini semakin kering seiring tercemarnya udara yang dulunya adalah primadona, sangat menyejukkan. Aku sudah di ajukan untuk berpindah ke kota lain untuk mengembangkan bakat emas yang kimuliki, namun aku tak kuasa meninggalkan kota tercinta ini. Aku lebih memilih melanjutkan karyaku di tempat ini sembari menunggu sesuatu yang sangat ku tunggu, sesuatu yang telah dijanjikan tujuh tahun silam, sebuah salam perpisahan yang manis. Kini sudah tujuh tahun berlalu, tanpa kabar dan aku hanya bergantung pada kepercayaan yang sudah membatu ini. Menunggu ujung penantian yang terkulai. Usman, setiap hari ku alunkan nada rinduku berharap akan sampai tepat pada waktunya. Kembalilah!! Aku sudah menunggumu seperti yang kau ingini.
                                                                                                ***
Hari berganti, bahkan setelah tujuh tahun, tak kunjung ku temukan penghujung penantian ini. Ku gayuh sepeda kesayanganku mengelilingi alun-alun kota. Burung menukik dari sarangnya menghambur menikmati biru udara kota selepas fajar bertengger. Mentari kian gencar menyinari cakrawala, panasnya tak terbendung hinggap di sekujur tubuhku. Dalam sekejap, aku kehilangan fungsi indraku secara perlahan, terakhir kali yang dapat aku lihat dalam kabur adalah lalu lalang orang yang ada di sebelahku. Mereka melihat kearahku dengan muka cemas. Diantara mereka ada yang menggenggam telepon dengan gemetar. “119!! 119!! Cepat!!” ucap seorang lelaki berulang-ulang, aku tak dapat berkata apapun saat itu. Tunggu, aku melihat seseorang yang tak asing bagi mataku, orang yang selalu hadir dalam angan dan orang yang tanpa izin menemani mimpiku. Sekejap saja, ku merasakan ada berat yang berada diatas kelopak mataku, memaksaku memejamkan mata dan mengakhiri pemandangan menakjubkan, sosok orang yang aku tunggu selama ini, lelaki pujaanku. Usman!!
                “Anda sudah sadar? Beruntung sekali anda bisa selamat setelah semua yang terjadi.” Ucap seorang lelaki jangkung paruh baya berseragam putih dengan riang melihatku membuka mata. Aku tertegun saat menilik ke berbagai sudut ruangan ini, hanya jajaran ranjang dengan beberapa orang berbaring serta infuse yang menggantung. Aku bisa merasakan jantungku memompa seirama dengan tetesan larutan yang keluar dari infuse yang gaung suaranya begitu memekakan telinga. Aku hanya bisa membaringkan tubuhku di ranjang nan membosankan ini. Bosan menunggu pulih berteman aliran infuse yang menelusup di tubuhku. Aku ingin pulang, otak ini terlalu membusung untuk terus di diamkan seperti ini, aku rindu kotak bayiku, aku ingin melahirkan sajak dan kata-kataku lagi. Aku rindu suasana rumah yang hening, berteman cahaya temaram dan goresan tinta.
                                                                                                ***
                Mentari meninggalkan peraduannya menampakkan kilau menyinari mimpi panjangku, melenggang menapaki buana berhiaskan biru udara memantul di hadapan mirat membiaskan cahayanya. Ku ayunkan kakiku menuju pintu kaca, menyingkap tirai dan membiarkan sinar mentari menerobos masuk di sela celah-celahnya. Mataku terbuka lebar diterpa pelukan hangat sinarnya,  pipiku mulai bergerak. Bibirku mulai melengkung, menyambut matahari dengan keramahannya. Aku siap berinteraksi lagi, kembali dalam rutinitasku melahirkan untaian kisah baru. Ku hidupkan mesin mobil hitam yang mengkilap di bagasi yang mulai berdebu setelah kutinggal dua minggu selepas kejadian itu, sungguh peristiwa yang mendebarkan. Daun-daun di pinggir jalanan ini melambaikan daunnya menyambutku dengan senyuman yang menghijau di pagi secerah ini.
                Kini aku telah menapaki beranda kantor yang mencakar langit, setelah sekian lama menanti saat-saat ini aku bisa kembali disini. Lantai pualam yang mengkilap, pintu kaca yang bening, dan bunga-bunga mekar nan manis yang ditopang vas cantik seperti menyambut kembalinya aku ke dunia ini. Para karyawan berlalu lalang di depanku, menyambutku dengan ramah. Dan lihat, semua disini sangat indah.
                “Zaira…” Deg! Jantungku bertalu mendengar sapaan dari suara itu, sama seperti tujuh tahun lalu. Aku berusaha memalingkan wajahku dan memantapkan tatapanku pada sosok itu. Tubuhku bergetar hebat saat harus ku putar seratus delapanpuluh derajat menuju arah tempatnya. Mata kami saling memandang, mulutku terkunci, aku tidak dapat mengeluarkan keluh kesahku selama tujuh tahun silam. Aku terkalahkan dengan desakan hatiku, mata mengucurkan airnya. Kekosongan terus menyesakki rongga batinku, usai terpekur lama dalam hening. Mulutnya mulai terbuka, mencoba menuturkan apa yang terjadi selama ini. Jantungku berpacu kencang mendengar kata-katanya.
                “Maafkan aku Ra, aku tidak bermaksud mengingkari janji kita. Maafkan aku pula tak bisa menemanimu saat kamu terbaring lemah, aku takut semuanya akan bertambah buruk. Maafkan aku sudah meninggalkanmu selama ini. Maafkan aku Ra, aku sudah mencarimu beberapa bulan ini. Dan saat kecelakaan itu, aku begitu malu pada diriku sendiri tak bisa melindungimu. Aku takut untuk menghadapimu lagi, aku takut menyakitimu. Aku harus berbicara padamu, itu yang aku lakukan saat ini, aku minta maaf Ra baru menemuimu setelah sekian lama.” Pintanya dengan memelas, matanya terpejam, memalingkan wajah manisnya dari pandanganku, itu batas kemampuannya dan aku tahu itu.
                “Tak apa Usman, lihat aku sekarang bisa berdiri disini menemuimu. Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum bibirmu mengatakan itu, aku senang kamu kembali.” Ucapku sembari memasang gelang berwarna hijau gelap yang ku ambil dari tasku, gelang dari bahan kulit yang dikepang itu di pergelangan tangannya yang kekar.
                “Kamu tahu? Aku membeli gelang ini pada saat study wisata sekolah saat aku masih SMA dulu. Namun takdir memisahkan kita, kamu berpaling dariku begitu saja saat itu. Meninggalkanku dengn beribu harap. Kau tahu? Sudah tujuh tahun lamanya gelang ini terus bertengger dalam tasku, sembari berharap aku bisa memakaikan ini di tanganmu. Saat pertemuan kita lagi, dan sekarang aku bahagia bisa melihatmu. Terimakasih telah kembali.” Tuturku sambil menyeka air mata yang membuyar tak karuan, berharap aku bisa menyembunyikannya. Ku urai lagi isi dunia lewat tatapan. Begitu berbinar dan meneduhkan.

Kini semua luluh, hidup seolah dalam melodrama yang mengharu biru. Semua beban di kehidupanku selama ini terangkat ke ujung petala yang merekah. Luka yang selama ini menganga terjahit oleh susunan embun yang menyegarkan. Kali ini, aku merasa benar-benar bebas dari belenggu masa laluku. Sebelumnya aku yang terus hidup untuk ‘masa lalu’ kini berganti dengan ‘sekarang’ yang menggelora. Angin lembut mengurai satu-persatu anak rambut Usman, ada berjuta kehangatan yang terpantik di dalamnya. Akhir cerita takkan mengkhianati sebuah penantian yang terbujur lama. Memenuhi dahaga rindu dengan setitik air dari surga, surga dari sebuah penantian. Meski senja kesumba menutup fajar, sang bintang bersiap mendampingimu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar