Mama
Adina
Febriyanti
entari mulai menampakkan rupa menawannya dibalik kanvas
tinta jingga yang menenangkan. Bintik embun menggantung manis dipucuk dedaunan
menghijau. Gemericik air memecah sepi di pagi buta ini. Hembusan angin
membangkitkan Syifa untuk kembali kedalam kehidupan yang real yang semalam ditinggalkannya berkelana dalam alam maya memainkan
imajinasinya. Dunia yang indah tapi entah mengapa ada suatu sudut kehidupan
yang belum terjamah dan terisi, membuatnya begitu kosong. Disinilah Syifa,
seorang pemimpi yang begitu haus akan kasih sayang, terpuruk, mengasingkan
diri, dan mencoba menjauh dari bayang-bayang kenyataan yang begitu pahit.
Terperosok dalam kubangan kepedihan tanpa ujung.
Syifa masih tidur terlentang
diranjang rapuh itu. Menatap langit-langit putih kamar kost 4x4 meter yang di diaminya
bersama temannya selepas pergi dari rumah sebagai tanda penolakan dengan munculnya
mama baru yang mengganti posisi mama kandungnya yang meninggal satu setengah
tahun silam. Yang ada dalam pikirnya hanyalah emosi yang menggebu, bagaimana
papanya bisa secepat itu melupakan istri yang dulu sangat dicintainya, sedang
masih teringat jelas bagaimana terpukulnya saat harus menyaksikan orang yang sangat dicintainya
meninggal dunia, meninggalkannya dan juga papanya.. Tidak ada tempat bercanda,
tempatnya untuk bercerita panjang lebar mengenai hal yang baru saja dialami,
dan tidak ada lagi mama dimana
dipangkuannya biasa dia bergelayut manja.Kemarahanya meledak tak kalah keras dengan
perkataan yang membuatnya semakin tak gentar memproklamasikan ketidak
setujuannya dengan mama baru yang sama sekali tidak disukainya.
“Kamu tidak menyukai mama barumu
kan? Kamu bukan anak papa lagi!” petir menghujam hati rapuhnya, dan dengan
langkah gontai ditinggalkannya istana penuh kenangan yang dicintainya.
Syifa terombang-ambing dalam arus
kehidupan dengan berjuta karang yang berdiri kokoh siap menghantam saat lengah berlayar. Semenjak kedatangannya ke
kota ini, kota yang berjarak berpuluh-puluh kilometer dari kota kelahiran di
Jogja, Syifa harus bergantung pada kehidupan yang sangat keras, dia
menggantungkan hidupnya dari pekerjaan paruh waktu sebagai seorang waiter di sebuah café yang cukup
terkenal di dekat kampusnya.
***
“Della Assyifa Ummar!” bentak dosen
akuntansinya yang terkenal dengan kegarangannya itu. Dosen itu tak pernah
memanggil nama lengkap Syifa jika ia tidak benar-benar marah. Nampaknya Syifa
telah melemparkan bom pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia tertidur saat
celotehan dosen menggelegar seisi ruangan. Dosen super killer itu berdiri
angkuh tepat didepannya dengan sebatang penggaris raksasa yang dicengkeram erat
dengan tangan kanan sedang tangan kirinya berkacak pinggang dengan wajah yang
merah padam ditambah dengan sepasang mata berkacamata yang memelototi Syifa menjadi
cerita horor di siang bolong.
“Sabar ya Syifa.” Ucap Rita teman
sebangkunya sembari menepuk pundak dengan wajah pesimis atas semua yang akan
ditanggung sahabatnya itu. Seisi kelas tegang merasa iba dan khawatir
mengira-ira apa yang terjadi selanjutnya setelah Bu Afi, dosen yang terkenal
dengan kegarangannya itu mengisyaratkan Syifa unyuk mengikuti langkahnya. Digeretnya
kaki dengan langkah yang tak menentu. Mengingat kejadian-kejadian yang menimpa
sebelumnya bersama guru super duper killer ini.
Tepat di depan gedung kantor
berdiri kokoh tiang bendera kokoh yang dipuncaknya menggantung sang merah putih
kebanggaan, disuruhnya hormat di bawah terik matahari yang menyengat. Dia terus
menggerutu dan memaki diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa dia tertidur di
kelas dosen killer itu? Bodoh sekali
pikirnya. Matanya mulai buram terlalu lama tersengat terik matahari. Tiba-tiba saja tubuhnya lemas, terik
matahari tak lagi dapat dirasakan, matanya terpejam, sesaat kemudian tubuh
serasa sangat ringan tanpa beban. Satu-satunya yang bisa ia dengar hanya segerombol
anak yang bersorak-sorai melantunkan lagu Happy Birthday To you di seberang sana.
“Hay? kamu baik-baik saja? Bisa
dengar aku?.” Tanya seorang pria yang tak pernah dilihat Syifa lihat
sebelumnya. Dia tertegun. Matanya menatapnya dengan tatapan yang tulus dan
sekilas terlihat khawatir.
“Iya.” Jawabnya seadanya.
“Aku Syarief. Siapa namamu?.”
Ucapnya ramah. Syifa hanya terpaku mengamati wajah dan bibirnya yang tersenyum
simpul. Syifa terhenyak, sejenak mengagumi keindahan seorang pria sedekat ini
hampir tak pernah terfikirkan olehnya. Lalu Syarief menjulurkan tangan padanya.
“Syifa.” Jawabnya menyambut tangan
Syarief. Syifa mengamati sekelilingnya, tembok ruangan di cat warna hijau, ada
beberapa ranjang kosong di samping lengkap dengan bantal dan selimut. Bau
diruangan itu khas dengan obat-obatan. Diamati sekelilingnya tak ada orang
selain dirinya dan Syarief. Hanya berdua.
“Aku tak pernah melihatmu
sebelumnya. Aku di jurusan Sastra Inggris. Sepertinya kamu dari jurusan lain.
Iya kan?.” Celotehnya tanpa jeda
“Hehe kamu seperti peramal. Tak
perlu aku katakan, kamu sudah mengetahuinya. Oh iya bagaimana aku bisa sampai
disini?.” Ucap Syifa saat merasa mulai siuman. Bibirnya menyunggingkan senyum
penuh arti, mungkin tanpa pria ini Syifa sudah menjadi ikan asin diluar sana.
“Oh iya. Aku dan teman-temanku
menemukan kamu dibawah tiang bendera saat aku baru menyelesaikan ritual ulang
tahunku. Kamu begitu lemas dan ambruk.” Begitu ujarnya. Lantas mereka mulai
bercakap-cakap dengan akrabnya. Mereka sangat cepat mengenal.
“Terimakasih ya sudah membantuku.
Kalau kamu tidak membawaku kesini, mungkin aku sudah menjadi ikan asin yang
terbakar sinar matahari sekarang.” Ucap Syifa saat tiba di depan kamar kosnya. Iya. Syarief menawarkan diri untuk menantarnya
pulang. Dia sempat menolak dengan beberapa alasan tapi karena Syarief memaksa,
akhirnya Syifa pun diantarnya. Tubuhnya sangat atletis, kulitnya sawo matang
dan wajah khas indo-nya benar-benar menggetarkan hati seorang Syifa.
“Baiklah. Sama-sama. Senang bertemu
denganmu. See you again, Syifa!” ucapnya sembari melambaikan tangan.
“See you too. Syarief.” Balas Syifa sembari membalas lambaian
tangannya. Dan mengakhiri pertemuan Syifa dengannya dengan senyuman.
***
Sejak
pertemuan pertama kali, hubungan mereka semakin dekat. Seperti sepasang merpati
putih yang terbang kesana kemari melukiskan kisah cinta nan manis diatas awan.
“Syifa? Kamu ikut acara camp minggu depan kan?.” Tegur Syarief
saat melihat Syifa duduk di tengah taman dibawah pohon rindang ditengah kota.
“Tentunya. Tapi aku takut liburan
nanti akan merepotkan teman-temanku dan mengganggu event camp yang
ditunggu-tunggu ini mengingat keadaanku yang mudah sekali drop.” Balas Syifa
menuturkan alasannya. Memandang birunya langit yang menenangkan di batas senja.
“Tidak usah takut, aku kan bersamamu. Aku akan
menjagamu.” Ucap Syarief dengan nada bersemangat. Memasang lagak seperti
pahlawan yang tengah berkobar-kobar semangatnya mengibarkan bendera merah putih
kebanggaan Indonesia. Begitulah Syarief, dengan tingkah lucunya mampu
menghilangkan gundah dalam hati orang yang berada di sampingnya. Senyumnya
indah, tenang, setenang ayunan rumput-rumput di lahan hijau saat angin malam
berhembus mesra.
“Benarkah?.” Wajah Syifa berbinar
mendengar apa yang baru saja didengarnya. Menenangkan kepenatan dalam hatinya.
Syarief, sosok sempurna yang bisa membuat semua makhluk begitu mendambakan
ketulusan hati yang terpancar dari ketulusan hatinya. Nampak raut muka Syifa
seketika berubah, setenang embun, lalu memudar begitu saja.
***
Waktu yang di tunggupun tiba, Camp
yang sangat menggairahkan saat didengar ini sangat menarik. Sangat tidak sabar
para mahasiswa menantikan Biggest Even
yang diselenggarakan kampus. Acara
yang sangat meriah. Luar biasa indah, juga melelahkan.
Syifa duduk di samping api unggun
yang sudah hampir padam, namun masih cukup panas untuk mengenai wajahnya yang
ayu. Abu-abu bertebaran sekelabu hatinya, kemerlap bintang setia menemaninya memetik
senar gitar menyenandungkan lagu yang mewakili kobaran api didada.
Dimana akan kucari,
aku menangis seorang diri
Hatiku slalu ingin
bertemu untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta
aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku
Ayah dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya
dalam mimpi
“Selamat malam tuan putri.” Seorang
mendekatkan wajahnya di telinganya Syifa. Menatap dengan binar di matanya.
“Syarief, kau mengagetkanku!!.” Ucapnya
sambil memukul-mukul pundak teman dekatnya itu dengan gemas.
“Maafkan aku, aku hanya terbuai
dengan alunan musik yang kamu nyanyikan. Aku yakin kamu pasti mewarisi bakat
seni!.” Timpal SYarief dengan nada yang luar biasa semangat.
“Hmm..iya, mungkin. Mamaku dulu
seorang penyanyi. Kami sering mengisi waktu dengan bernyanyi bersama. Tapi
sekarang tidak, dia sudah tiada.” Jawabnya singkat, menerawang ingatan akan
wajah cantik mamanya dengan jari-jari lincah menekan piano dan mengalunkan nada
indah.
“Lalu
papamu?.” Tanya Syarief menyelidik.
“Papaku
menikah lagi dengan seorang wanita. Dan dialah yang membuatku disini, sebenarnya
aku lebih suka bersama dengan papa, tapi aku rasa aku belum siap menerima
pengganti mamaku.” Air seketika merambat ke pipinya, mengenang kebersamaan
keluarga kecilnya dulu. Dia bahkan tak pernah mau mengenal dan sekilas melihat
rupa mama barunya itu. Tak sanggup rasanya melihat papanya bersanding dengan
wanita lain.
“Cepat
atau lambat kamu akan menemuinya, ini sudah takdir.” Ucapnya penuh makna.
Dielusnya rambut gadis cantik yang tergerai manis didepannya dan segera pergi.
***
“Aku
mengenal mamamu dari kecil, bahkan kita merencanakan pernikahan itu sebelum
mamamu meninggal Syifa. Sebenarnya ini adalah permintaan terakhir dari mamamu,
dia ingin mencari penggantinya agar kamu tidak terombang-ambing setelah mamamu
pergi. Suatu hari mamamu menitipkan kamu dan papamu pada tante dan memastikan
bahwa tante aka nada disampingmu. Beliau bahkan melingkarkan cincin
pernikahannya di jari manis tante, dan membuat tante berjanji untuk merawatmu.
Maafkan tante Syifa, tante bukan ingin merebut papamu darimu. Tante hanya ingin
menjalankan amanat mamamu, dan Syarief, dia adalah saudara jauh tante. Pernah
suatu ketika dia menunjukkan fotomu dan papamu segera meminta informasi dari
Syarief. Maafkan tante setelah sekian lama baru mencarimu. Ayahmu sekarang
sedang sakit, ikutlah tante pulang, disanalah rumahmu Syifa.” Air mata berlinang
membanjiri pipi wanita berkerudung yang menghampirinya tepat ketika Syifa baru
membuka jendela tendanya pagi itu. Dia adalah suami papa Syifa. Ya, orang yang
begitu dibencinya dulu. Begitu jelas raut wajahnya pucat pasi. Sejenak terdiam
dan merenung apa yang dikatakan seorang wanita yang memperkenalkan dirinya
bernama Halimah. Tante Halimah. Begitu Syifa memanggilnya. Syifa segera menaiki
mobil wanita yang baru dikenalnya itu. Mobilnya meluncur melesat di tengah
keramaian ibukota.
“Papa..”
Panggil Syifa selepas melihat tubuh papanya terbaring tak berdaya di ranjang
pasien dengan aliran infus yang tersumpal dilengannya. Dilihatnya wajah papa
yang sangat dicintainya. Dia memeluk papanya, suasana haru seketika merebak.
Halimah pergi meninggalkan mereka berdua untuk melepaskan dahaga rindu mereka.
“Syifa,
maafin papa ya. Papa ngga berniat menyakiti hatimu, sebenarnya papa tidak tega
tapi itulah pesan terakhir mamamu. Dan sekarang Halimah sedang mengandung
adikmu, maukah kamu menerima adik dan juga ibumu itu?.” Wajahnya berkaca-kaca
menanti jawaban anak kesayangannya itunya. Dia mengangguk. Lalu merengkuh
kembali tubuh lemah yang terbaring itu.
“Tapi
papa harus sembuh sekarang, adikku pasti tidak senang melihat papa sakit.” Wajah
sumringah kembali nampak dibalik air mata yang belum sepenuhnya kering.
“Maafin
Syifa tante, sudah berprasangka buruk selama ini.” Ucap Syifa selepas beranjak
dari kamar ayahnya. Wajah mereka penuh haru.
“Nggak
papa kok Syifa, tante seneng kamu kembali sekarang. Tante sayang sama Syifa,
jangan pergi lagi ya sayang.” Jawabnya sembari mengelus rambut panjang Syifa
yang terurai bebas di punggungnya. Syifa melepas pelukannya.
“Iya
janji deh tante Halimah, eh.. mama.” Senyum mengembang diwajah mereka.
***
Pagi
yang cerah, pohon-pohon menari diterpa terjangan angin dan menggugurkan daun
keringnya di tepi makam. Di batu nisan tertulis namanya, Amri. Mama kandung
Syifa. Di atas makam masih tertata rapi bunga yang baru Syifa taburkan,
semerbak wangi bunga-bungaan bercampur wewangian memberikan kesan mendalam di
pagi yang ceria ini.
“Mama,
maafin kesalahan Syifa yang menolak pilihan mama. Syifa akan memperbaikinya. Oh
iya, Syifa akan segera punya adik. Terimakasih buat segalanya ya ma, juga buat
mama baru untuk Syifa. Syifa benar-benar menyayanginya sekarang. Syifa juga
sekarang sudah memiliki pujaan hati ma, Syarief, pria yang sudah mempersatukan
keluarga kita lagi.”