Metal Pointer Adina's Blog: Maret 2018

Selasa, 27 Maret 2018

PUISI 'BELENGGU'

Belenggu
Adina Febriyanti

Detik demi detik berlalu iringi langkah
Menyusuri lorong gelap nan sepi
Ruangan yang  penuh sesak!
Mentari tak kuasa menggempur dinding
Dinding baja penuh nestapa
Debu berhambur menyumbat nafas
Setitik kilau redup di ujung sana
Memberi asa dan harap menggunung
Lalu, Pyar! semua gelap
Sesak menggerogoti dada
Lentera ! janganlah pergi
Terangi jalanku pulang
Kegelapan ini, menggertak kalbu
Yang retak nan rapuh ini
Terhempas seiring lenyapnya harap
Waktu yang membawaku kemari
Terjerat dalam lumpur fatamorgana alam fana’

CERPEN 'RINDU'

Rindu
Adina Febriyanti

D
edaunan melambai mesra di terjang angin malam yang menusuk, memelukku hangat. Anganku melayang akan perjalananku besok, aku akan sangat merindu dengan semua keadaan ini. Malam gemerlap penuh bintang mengejekku yang lemah tanpa daya meringkuk dan membiarkan rasa takut bergelora, aku resah, berharap esok takkan kutemukan dalam hidupku. Membayangkan apa aku benar-benar harus enyah dari tanah kelahiranku, berbekal nekat dan keberanian menggapai asa dan cita-cita mulia di ibukota. Banjir hinggap dipipiku, resah gelisah tak menentu, entah ini pertanda baik atau mungkin perihal yang buruk.
                “Le ini tasmu, simbok sudah menyiapkan barang yang akan kamu bawa besok. Kalau ada yang lain yang kamu butuhkan bilang saja pada simbok, nanti tak siapkan. Tidur yo le, kamu akan melakukan perjalanan panjang besok jadi simbok ndak mau kalau kamu sakit.” Tuturnya dengan lembut dan kasih sayang selepas menidurkan adik di kamarnya. Sembari memberikan tas kain kepadaku yang penuh sesak dengan barang. Aku tidak perlu lagi memeriksanya, karena simboklah yang paling tahu tentang kebutuhanku.
“Inggih mbok, suwun. Candra belum mau tidur sekarang.” Ujarku seakan tak menghiraukan ucapannya barusan. Sekilas aku tersenyum melihat tas yang bentuknya menggembung sesak dengan perbekalan, lalu memalingkan wajahku dari pemandangan indah itu.
Bukan karena aku tak peduli, tapi ada benda yang sangat kuat dibalik kelopak mata yang mendesak keluar dengan dahsyatnya. Aku tidak ingin simbok tahu, meskipun sebagai seorang ibu pastinya simbok sudah mengetahui apa isi pikiran dan hati anak yang telah dilahirkan dan didik olehnya sejak sembilan belas tahun silam. Yang ada hanyalah pertentangan batinku. Hatiku ingin tetap tinggal dan bersama keluarga kecil sederhana nan bahagia ini, namun satu sisi aku tidak ingin mengecewakan mereka. Aku telah menghabiskan hasil jerit payah mereka mengelola beberapa bidang tanah warisan kakek yang digunakannya sebagai tumpuan hidup membesarkan aku dan adikku sampai sebesar ini. Aku masih tak bisa bersikap dewasa dalam hal apapun, aku ingin selalu menjadi anak kecil bagi mereka agar kasih sayang mereka sepenuhnya untukku. Jujur saja, inilah kali pertamaku harus pergi jauh dalam waktu lama meninggalkan mereka.
Le, kamu ndak lagi nangis kan? Malu-maluin lah masa badan kekar gini disuruh nangis.” Tegur bapak yang sangat ku hormati dan kujadikan panutan membuyarkan lamunanku di gubuk tua diatas rumahku. Berteman lampu jinjing minyak tanah, cahaya redupnya menyinari pojok hatiku.
“Ah ndak pak, cuma terharu aja melihat simbok begitu antusias mempersiapkan bekalku besok.” Jawabku sambil menyunggingkan bibir dan memamerkan lesung pipitku, tanganku menyapu air mata yang merayap dipipiku dengan hangat.
“Ah jangan bohong kamu sama bapak. Semangat buat besok, jangan sedih lagi. Simbok dan bapak sangat berharap kamu berhasil le. Jangan kecewakan kami. Kami akan selalu mendoakanmu dari sini. Adikmu juga, dia pasti sangat bangga melihat kakak yang begitu dia kagumi selama ini mengenakan seragam loreng kebanggaanmu kelak. Sekarang menangislah sebagai seorang lelaki tangguh. Tapi ingat, jangan pernah teteskan air mata lagi di luar sana, karena bapak ndak mau anak bapak yang gagah perkasa calon perwira yang akan mengangkat derajat keluarga kita ini terlihat lemah. Bapak simbok bahagia kamu besok akan pergi. Pergilah nak, gapai cita-cita luhurmu itu. Bapak akan menjaga simbok dan adik. Jangan cemaskan kami. Sekarang saatnya kamu menjaga dirimu sendiri.” Tutur bapak lembut di telingaku, semakin membuat pelupuk mataku basah, segera aku diraihnya. Dipeluknya. Aku tidak akan mengecewakan bapak, simbok, dan adikku tersayang. Insyaallah.

***

Dentuman suara merdu membangkitkan ragaku, langit masih gelap gulita membutakan mata, terasa dingin menusuk kulit dan menembus jiwaku. Gemericik air mengantarkanku pada salah satu kewajiban yang semasa hidup harus ditegakkan. Tiang agamaku. Aku bersujud meminta ridho-Nya dan jalan yang benar untukku, jalan terbaik dan cara memulai pengembaraan hidupku  yang akan kumulai hari ini dimana aku harus bertahan ditengah kerasnya kehidupan yang menungguku. Asap kayu bakar sisa simbok memasak masih tercium jelas.
                “Ayo makan dulu, nanti keburu dingin sop nya. Mas kan jam 7 harus berangkat ke stasiun.” Ajak simbok yang sudah siap dengan hidangan sarapannya.
                “Nggih mbok.” Sahutku singkat sembari membawa tasku ke meja makan. Adikku demikian, dia membawa tas sekolahnya. Padahal hari ini hari minggu dan aku yakin dia libur hari ini.
                “Dina boleh ikut mengantar mas kan mbok?.” Pinta adikku yang pintar itu, adikku adalah perayu yang hebat, dia sangat manis dan aku merasa takkan bertahan lama tanpa senyum manis dari bibirnya itu.
Ndak usah Din, mas mu ini kan udah besar. Lagian kan jauh dari sini ke kota.” Tutur simbok dengan nada halus, sambil mengelus-elus rambut Dina. Seketika senyum di bibir adikku ini menciut, terlihat kekecewaan dimatanya.
                Selepas makan, jatungku mulai berdetak sangat keras. Tiba saatnya aku harus pergi, meninggalkan kehangatan keluarga tercintaku ini. Aku berdiri diluar pintu, air mataku tak terbendung lagi, tumpah ruah tak terkendali. Aku menyalami satu persatu mulai dari simbok, bapak, lalu adikku. Ada rasa berat melepasku di hati mereka. Ya Allah tolong hambamu ini, buat jiwaku tegar didepan mereka.
                “Candra berangkat dulu ya mbok, pak, adik jangan nakal. Assalamu’alaikum.” Ucapku sembari melambaikan tanganku. Tubuhku bergetar saat kaki ini melangkah meninggalkan mereka. Aku akan segera pulang menuai sukses. Aku yakin itu. Aku meminta perlindungan-Mu Ya Allah.

***

                Sudah satu setengah jam lamanya aku duduk diatas tumpukan jerami  bersama dengan kambing-kambing gemuk ini, diatas mobil bak terbuka saksi kisahku yang teramat berat berpisah dan jauh dari mereka. Rumput-rumput melambai
“Dik, sudah sampai terminal. Sini bapak bantu bawakan.” Aku menginjakkan kakiku ke lantai terminal ini. Di kursi usang nan tua ini, ku sandarkan punggungku melepas penat menunggu perjalanan baru yg akan dimulai dari sini, meraih masa depanku dan merajut cerita indah dan mengukir sejarah hidupku. Ku genggam tiket bus, bergegas masuk ke dalam bis yang ku pesan jauh-jauh hari. Bis antarprovinsi berwarna hijau dengan LCD di depan sopir sebagai hiburan di tengah jenuhnya perjalanan. Aku merebahkan tubuh lemasku melihat lalu lalang kendaraan di kota ini, berharap kegundahan hatiku akan hilang dan aku bisa mulai terlelap menghilangkan berat dimataku yang semalam tak bisa ku pejamkan.
 Akhirnya setelah menjalani perjalanan selama belasan jam aku sampai di pusat ibukota,banyak gedung yang tinggi menjulang, bahkan melebihi bangunan tertinggi di Wonosobo ada disini, bagunan-bangunan seakan menembus langit. Kulihat kerlap-kerlip dan hingar-bingar ibukota dibalik kaca mobil ini, mobil mewah yang baru sekali ini kunaiki.
                “Jangan sedih lagi, sebentar lagi setelah kamu sampai dan bertemu teman baru kamu akan melupakan masalahmu.” Ucap orang yang menjemputku di terminal, dia adalah teman pamanku. Dia seorang tentara bintang dua yang akan mengurusku selama proses pendaftaran,  aku akan belajar banyak darinya. Pak Hadi namanya.
                Setelah melakukan serangkaian tes yang menyita waktu bahkan hampir satu bulan lamanya, aku diterima dan dinyatakan sebagai calon perwira. Aku bersorak girang. Doaku terkabul, Alhamdulillah.

***

               
Selepas meninggalkan rumah pak Hadi, diantarnya aku menuju asrama, disinalah tempat tinggalku selama aku mengikuti proses  pendidikan sebagai calon perwira. Malam ini malam kelabu yang membuatku nelangsa setengah mati, saat aku harus menahan rasa rindu akan bapak dan simbok juga adik manisku. Aku terkapar tak berdaya dalam kesunyian malam ini, terpejam dan berharap agar dahaga rinduku segera menemukan pemuasnya. Berharap bisa bertemu dalam mimpi. Sekejap saja.
                “Priitt..priitt..” Bunyi peluit membangunkanku, membawaku bersujud dan berterimakasih akan karunia Allah SWT yang Maha Agung. Berharap akan tiba masanya aku bertemu dengan keluargaku.
                “Candra, ini untukmu.” Tutur teman sekamarku yang bernama Ari sembari memberi sebuah amplop. Di bagian depannya tertulis nama alamat desa dan kota kelahiranku. Tanpa ba bi bu langsung saja kubuka amplop itu dan kutemukan secarik kertas.
                Asssalamu’alaikum..
Candra anakku, piye kabarmu Le? Apik to? Bapak, simbok, dan adik kangen sama kamu. Simbok meminta bapak buat menulis sepucuk surat ini buatmu. Le, jangan sedih, tahan rasa kangenmu kui, jangan nangis lagi. Bapak pingin kamu sukses ndak seperti bapakmu ini yang harus banting tulang membesarkanmu dari benih-benih jahe, cabai, dan kayu yang kami semai. Jadilah anak yang cerdas, berguna bagi bangsa dan negara juga agamamu , jangan jadi orang bodoh seperti bapak simbokmu yang baca tulis saja masih tertatih-tatih. Makanya kami menyekolahkan kamu setinggi kemampuan kami, berusaha agar hidupmu enak dan lebih baik. Kami membiarkanmu pergi jauh bukan karena sudah tak peduli, tapi tak lain demi masa depanmu, kamu harus ditempa dengan sejuta tekanan yang kuat agar kamu terbiasa. Saat pertama kali kami mendengar bahwa anakku yang gagah ini bercita-cita mengabdikan diri sebagai seorang simbokmu sampai menangis tersedu-sedu. Awalnya kami ragu apa bisa membiayaimu pergi ke kota metropolitan itu, dan Alhamdulillah ada kesempatan. Mulai saat itu kami mempersiapkan bekal untukmu, termasuk dengan menempa fisik dan mentalmu. Percayalah le, hidup ini tidak semudah yang kamu kira. Jangan sia-siakan masa mudamu untuk menyiksa diri, tapi belajarlah dan serap ilmu yang kamu dapatkan lalu terapkan di hidupmu. Tentunya ilmu yang bermanfaat, doakan kami sehat selalu ya le, agar bisa melakukan penantian yang sudah semakin dekat dengan pemuasnya. Ada banyak orang yang ingin sepertimu, dan kamu adalah orang yang terpilih untuk ini. Jangan kecewakan kami. Jangan biarkan legam dipundak ini semakin terasa. Oh iya, adikmu sudah mau masuk SD. Doakan adikmu agar sepintar kamu ya, agar menjadi generasi penerus bangsa yang membanggakan. Cepat datang jika pendidikanmu telah usai. . Dibalik kertas ini ada foto kami bertiga yang sangat merindukanmu, jaga diri baik-baik. Jangan lupa kewajibanmu sebagai seorang mukmin yang ta’at. Allah memberkatimu le, Insyaallah.
 Wassalamu’alaikum wr.wb
Tertanda,
Bapakmu
                Rasa resahku seketika hilang, lega bagai lepas dari jeratan yang membelenggu. Untuk kesekian kalinya pertahananku jebol, tapi kali ini aku bahagia. Sangat bahagia.
                “Bapak, simbok, anakmu akan segera datang membawa keberhasilan dan masa depan yang cerah. Candra mu ini akan berusaha sekuat tenaga untuk menggapai cita-citaku. Aku sekarang jauh sekali, tapi setelah membaca suratmu aku menjadi tenang. Awalnya aku takut, puluhan pasukan bersenjata ada didepanku untuk menguji apa aku pantas ikut pendidikan ini. Akan candra tunjukkan bahwa bapak dan simbok ndak salah mempercayai Candra. Bapak sudah memberi semangat baru bagi Candra. Terimakasih untuk semua pengorbanan kalian selama ini.” Batinku sembari memeluk erat surat pelepas rindu ini, kulihat selembar  foto yang menyertainya. Anakmu  akan segera menyusul kalian, aku akan segera pulang. Enam bulan lagi..

***


                Angin menghembus membawa angan terbang seiring riuh rendahnya suara prajurit yang lalu lalang melakukan latihan di pojok sana. Rumput ilalang melambai-lambai dengan anggun melepaskan pesona di awal fajar kali ini. Daun-daun melepaskan genggamannya pada sang embun yang mulai turun, pohon-pohon menjulang di depan mataku, mentari begitu ceria menembus celah dahan dan daun pohon rindang memberi kehangatan yang terpantik menembus kalbu. Burung-burung berkicau ria merayakan terbitnya hari cerahku selanjutnya..

CERPEN 'MAMA'

Mama
Adina Febriyanti

M
entari mulai menampakkan rupa menawannya dibalik kanvas tinta jingga yang menenangkan. Bintik embun menggantung manis dipucuk dedaunan menghijau. Gemericik air memecah sepi di pagi buta ini. Hembusan angin membangkitkan Syifa untuk kembali kedalam kehidupan yang real yang semalam ditinggalkannya berkelana dalam alam maya memainkan imajinasinya. Dunia yang indah tapi entah mengapa ada suatu sudut kehidupan yang belum terjamah dan terisi, membuatnya begitu kosong. Disinilah Syifa, seorang pemimpi yang begitu haus akan kasih sayang, terpuruk, mengasingkan diri, dan mencoba menjauh dari bayang-bayang kenyataan yang begitu pahit. Terperosok dalam kubangan kepedihan tanpa ujung.
Syifa masih tidur terlentang diranjang rapuh itu. Menatap langit-langit putih kamar kost 4x4 meter yang di diaminya bersama temannya selepas pergi dari rumah sebagai tanda penolakan dengan munculnya mama baru yang mengganti posisi mama kandungnya yang meninggal satu setengah tahun silam. Yang ada dalam pikirnya hanyalah emosi yang menggebu, bagaimana papanya bisa secepat itu melupakan istri yang dulu sangat dicintainya, sedang masih teringat jelas bagaimana terpukulnya  saat harus menyaksikan orang yang sangat dicintainya meninggal dunia, meninggalkannya dan juga papanya.. Tidak ada tempat bercanda, tempatnya untuk bercerita panjang lebar mengenai hal yang baru saja dialami, dan tidak ada lagi mama  dimana dipangkuannya biasa dia bergelayut manja.Kemarahanya meledak tak kalah keras dengan perkataan yang membuatnya semakin tak gentar memproklamasikan ketidak setujuannya dengan mama baru yang sama sekali tidak disukainya.
“Kamu tidak menyukai mama barumu kan? Kamu bukan anak papa lagi!” petir menghujam hati rapuhnya, dan dengan langkah gontai ditinggalkannya istana penuh kenangan yang dicintainya.
Syifa terombang-ambing dalam arus kehidupan dengan berjuta karang yang berdiri kokoh siap menghantam saat  lengah berlayar. Semenjak kedatangannya ke kota ini, kota yang berjarak berpuluh-puluh kilometer dari kota kelahiran di Jogja, Syifa harus bergantung pada kehidupan yang sangat keras, dia menggantungkan hidupnya dari pekerjaan paruh waktu sebagai seorang waiter di sebuah café yang cukup terkenal di dekat kampusnya.
                                                                                                ***
“Della Assyifa Ummar!” bentak dosen akuntansinya yang terkenal dengan kegarangannya itu. Dosen itu tak pernah memanggil nama lengkap Syifa jika ia tidak benar-benar marah. Nampaknya Syifa telah melemparkan bom pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia tertidur saat celotehan dosen menggelegar seisi ruangan. Dosen super killer itu berdiri angkuh tepat didepannya dengan sebatang penggaris raksasa yang dicengkeram erat dengan tangan kanan sedang tangan kirinya berkacak pinggang dengan wajah yang merah padam ditambah dengan sepasang mata berkacamata yang memelototi Syifa menjadi cerita horor di siang bolong.
“Sabar ya Syifa.” Ucap Rita teman sebangkunya sembari menepuk pundak dengan wajah pesimis atas semua yang akan ditanggung sahabatnya itu. Seisi kelas tegang merasa iba dan khawatir mengira-ira apa yang terjadi selanjutnya setelah Bu Afi, dosen yang terkenal dengan kegarangannya itu mengisyaratkan Syifa unyuk mengikuti langkahnya. Digeretnya kaki dengan langkah yang tak menentu. Mengingat kejadian-kejadian yang menimpa sebelumnya bersama guru super duper killer ini.
Tepat di depan gedung kantor berdiri kokoh tiang bendera kokoh yang dipuncaknya menggantung sang merah putih kebanggaan, disuruhnya hormat di bawah terik matahari yang menyengat. Dia terus menggerutu dan memaki diri sendiri dalam hati. Bagaimana bisa dia tertidur di kelas dosen killer itu? Bodoh sekali pikirnya. Matanya mulai buram terlalu lama tersengat terik matahari. Tiba-tiba saja tubuhnya lemas, terik matahari tak lagi dapat dirasakan, matanya terpejam, sesaat kemudian tubuh serasa sangat ringan tanpa beban. Satu-satunya yang bisa ia dengar hanya segerombol anak yang bersorak-sorai melantunkan lagu Happy Birthday To you di seberang sana.
“Hay? kamu baik-baik saja? Bisa dengar aku?.” Tanya seorang pria yang tak pernah dilihat Syifa lihat sebelumnya. Dia tertegun. Matanya menatapnya dengan tatapan yang tulus dan sekilas terlihat khawatir.
“Iya.” Jawabnya seadanya.
“Aku Syarief. Siapa namamu?.” Ucapnya ramah. Syifa hanya terpaku mengamati wajah dan bibirnya yang tersenyum simpul. Syifa terhenyak, sejenak mengagumi keindahan seorang pria sedekat ini hampir tak pernah terfikirkan olehnya. Lalu Syarief menjulurkan tangan padanya.
“Syifa.” Jawabnya menyambut tangan Syarief. Syifa mengamati sekelilingnya, tembok ruangan di cat warna hijau, ada beberapa ranjang kosong di samping lengkap dengan bantal dan selimut. Bau diruangan itu khas dengan obat-obatan. Diamati sekelilingnya tak ada orang selain dirinya dan Syarief. Hanya berdua.
“Aku tak pernah melihatmu sebelumnya. Aku di jurusan Sastra Inggris. Sepertinya kamu dari jurusan lain. Iya kan?.” Celotehnya tanpa jeda
“Hehe kamu seperti peramal. Tak perlu aku katakan, kamu sudah mengetahuinya. Oh iya bagaimana aku bisa sampai disini?.” Ucap Syifa saat merasa mulai siuman. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh arti, mungkin tanpa pria ini Syifa sudah menjadi ikan asin diluar sana.
“Oh iya. Aku dan teman-temanku menemukan kamu dibawah tiang bendera saat aku baru menyelesaikan ritual ulang tahunku. Kamu begitu lemas dan ambruk.” Begitu ujarnya. Lantas mereka mulai bercakap-cakap dengan akrabnya. Mereka sangat cepat mengenal.
“Terimakasih ya sudah membantuku. Kalau kamu tidak membawaku kesini, mungkin aku sudah menjadi ikan asin yang terbakar sinar matahari sekarang.” Ucap Syifa saat tiba di depan kamar kosnya.  Iya. Syarief menawarkan diri untuk menantarnya pulang. Dia sempat menolak dengan beberapa alasan tapi karena Syarief memaksa, akhirnya Syifa pun diantarnya. Tubuhnya sangat atletis, kulitnya sawo matang dan wajah khas indo-nya benar-benar menggetarkan hati seorang Syifa.
“Baiklah. Sama-sama. Senang bertemu denganmu. See you again, Syifa!” ucapnya sembari melambaikan tangan.
See you too. Syarief.” Balas Syifa sembari membalas lambaian tangannya. Dan mengakhiri pertemuan Syifa dengannya dengan senyuman.
                                                                                                ***
                Sejak pertemuan pertama kali, hubungan mereka semakin dekat. Seperti sepasang merpati putih yang terbang kesana kemari melukiskan kisah cinta nan manis diatas awan.
“Syifa? Kamu ikut  acara camp minggu depan kan?.” Tegur Syarief saat melihat Syifa duduk di tengah taman dibawah pohon rindang ditengah kota.
“Tentunya. Tapi aku takut liburan nanti akan merepotkan teman-temanku dan mengganggu event camp yang ditunggu-tunggu ini mengingat keadaanku yang mudah sekali drop.” Balas Syifa menuturkan alasannya. Memandang birunya langit yang menenangkan di batas senja.
 “Tidak usah takut, aku kan bersamamu. Aku akan menjagamu.” Ucap Syarief dengan nada bersemangat. Memasang lagak seperti pahlawan yang tengah berkobar-kobar semangatnya mengibarkan bendera merah putih kebanggaan Indonesia. Begitulah Syarief, dengan tingkah lucunya mampu menghilangkan gundah dalam hati orang yang berada di sampingnya. Senyumnya indah, tenang, setenang ayunan rumput-rumput di lahan hijau saat angin malam berhembus mesra.
“Benarkah?.” Wajah Syifa berbinar mendengar apa yang baru saja didengarnya. Menenangkan kepenatan dalam hatinya. Syarief, sosok sempurna yang bisa membuat semua makhluk begitu mendambakan ketulusan hati yang terpancar dari ketulusan hatinya. Nampak raut muka Syifa seketika berubah, setenang embun, lalu memudar begitu saja.
                                                                                ***
Waktu yang di tunggupun tiba, Camp yang sangat menggairahkan saat didengar ini sangat menarik. Sangat tidak sabar para mahasiswa menantikan Biggest Even yang diselenggarakan kampus. Acara yang sangat meriah. Luar biasa indah, juga melelahkan.
Syifa duduk di samping api unggun yang sudah hampir padam, namun masih cukup panas untuk mengenai wajahnya yang ayu. Abu-abu bertebaran sekelabu hatinya, kemerlap bintang setia menemaninya memetik senar gitar menyenandungkan lagu yang mewakili kobaran api didada.
Dimana akan kucari, aku menangis seorang diri
Hatiku slalu ingin bertemu untukmu aku bernyanyi
Untuk ayah tercinta aku ingin bernyanyi walau air mata di pipiku
Ayah  dengarkanlah aku ingin berjumpa walau hanya dalam mimpi
 “Selamat malam tuan putri.” Seorang mendekatkan wajahnya di telinganya Syifa. Menatap dengan binar di matanya.
“Syarief, kau mengagetkanku!!.” Ucapnya sambil memukul-mukul pundak teman dekatnya itu dengan gemas.
“Maafkan aku, aku hanya terbuai dengan alunan musik yang kamu nyanyikan. Aku yakin kamu pasti mewarisi bakat seni!.” Timpal SYarief dengan nada yang luar biasa semangat.
“Hmm..iya, mungkin. Mamaku dulu seorang penyanyi. Kami sering mengisi waktu dengan bernyanyi bersama. Tapi sekarang tidak, dia sudah tiada.” Jawabnya singkat, menerawang ingatan akan wajah cantik mamanya dengan jari-jari lincah menekan piano dan mengalunkan nada indah.
                “Lalu papamu?.” Tanya Syarief menyelidik.
                “Papaku menikah lagi dengan seorang wanita. Dan dialah yang membuatku disini, sebenarnya aku lebih suka bersama dengan papa, tapi aku rasa aku belum siap menerima pengganti mamaku.” Air seketika merambat ke pipinya, mengenang kebersamaan keluarga kecilnya dulu. Dia bahkan tak pernah mau mengenal dan sekilas melihat rupa mama barunya itu. Tak sanggup rasanya melihat papanya bersanding dengan wanita lain.
                “Cepat atau lambat kamu akan menemuinya, ini sudah takdir.” Ucapnya penuh makna. Dielusnya rambut gadis cantik yang tergerai manis didepannya dan segera pergi.
                                                                                                ***
                “Aku mengenal mamamu dari kecil, bahkan kita merencanakan pernikahan itu sebelum mamamu meninggal Syifa. Sebenarnya ini adalah permintaan terakhir dari mamamu, dia ingin mencari penggantinya agar kamu tidak terombang-ambing setelah mamamu pergi. Suatu hari mamamu menitipkan kamu dan papamu pada tante dan memastikan bahwa tante aka nada disampingmu. Beliau bahkan melingkarkan cincin pernikahannya di jari manis tante, dan membuat tante berjanji untuk merawatmu. Maafkan tante Syifa, tante bukan ingin merebut papamu darimu. Tante hanya ingin menjalankan amanat mamamu, dan Syarief, dia adalah saudara jauh tante. Pernah suatu ketika dia menunjukkan fotomu dan papamu segera meminta informasi dari Syarief. Maafkan tante setelah sekian lama baru mencarimu. Ayahmu sekarang sedang sakit, ikutlah tante pulang, disanalah rumahmu Syifa.” Air mata berlinang membanjiri pipi wanita berkerudung yang menghampirinya tepat ketika Syifa baru membuka jendela tendanya pagi itu. Dia adalah suami papa Syifa. Ya, orang yang begitu dibencinya dulu. Begitu jelas raut wajahnya pucat pasi. Sejenak terdiam dan merenung apa yang dikatakan seorang wanita yang memperkenalkan dirinya bernama Halimah. Tante Halimah. Begitu Syifa memanggilnya. Syifa segera menaiki mobil wanita yang baru dikenalnya itu. Mobilnya meluncur melesat di tengah keramaian ibukota.
                “Papa..” Panggil Syifa selepas melihat tubuh papanya terbaring tak berdaya di ranjang pasien dengan aliran infus yang tersumpal dilengannya. Dilihatnya wajah papa yang sangat dicintainya. Dia memeluk papanya, suasana haru seketika merebak. Halimah pergi meninggalkan mereka berdua untuk melepaskan dahaga rindu mereka.
                “Syifa, maafin papa ya. Papa ngga berniat menyakiti hatimu, sebenarnya papa tidak tega tapi itulah pesan terakhir mamamu. Dan sekarang Halimah sedang mengandung adikmu, maukah kamu menerima adik dan juga ibumu itu?.” Wajahnya berkaca-kaca menanti jawaban anak kesayangannya itunya. Dia mengangguk. Lalu merengkuh kembali tubuh lemah yang terbaring itu.
                “Tapi papa harus sembuh sekarang, adikku pasti tidak senang melihat papa sakit.” Wajah sumringah kembali nampak dibalik air mata yang belum sepenuhnya kering.
                “Maafin Syifa tante, sudah berprasangka buruk selama ini.” Ucap Syifa selepas beranjak dari kamar ayahnya. Wajah mereka penuh haru.
                “Nggak papa kok Syifa, tante seneng kamu kembali sekarang. Tante sayang sama Syifa, jangan pergi lagi ya sayang.” Jawabnya sembari mengelus rambut panjang Syifa yang terurai bebas di punggungnya. Syifa melepas pelukannya.
                “Iya janji deh tante Halimah, eh.. mama.” Senyum mengembang diwajah mereka.
                                                                                                ***
                Pagi yang cerah, pohon-pohon menari diterpa terjangan angin dan menggugurkan daun keringnya di tepi makam. Di batu nisan tertulis namanya, Amri. Mama kandung Syifa. Di atas makam masih tertata rapi bunga yang baru Syifa taburkan, semerbak wangi bunga-bungaan bercampur wewangian memberikan kesan mendalam di pagi yang ceria ini.

                “Mama, maafin kesalahan Syifa yang menolak pilihan mama. Syifa akan memperbaikinya. Oh iya, Syifa akan segera punya adik. Terimakasih buat segalanya ya ma, juga buat mama baru untuk Syifa. Syifa benar-benar menyayanginya sekarang. Syifa juga sekarang sudah memiliki pujaan hati ma, Syarief, pria yang sudah mempersatukan keluarga kita lagi.”

Senin, 26 Maret 2018

CERPEN 'WAKTU'

Waktu
Adina Febriyanti

M
alam yang indah, bulan memamerkan purnama bulatnya sembari tersenyum berteman bintang yang menghambur di atas birunya langit malam sesaat setelah senja menjelang. Aku berjalan di hamparan pasir putih yang membentang di sepanjang bibir pantai. Ombak merayap dan menyapu pasir di tepinya. Angin berdesir menyenandungkan alunan romansa tanpa ujung. Pelepah kelapa tepat di atas kepalaku mengayun seindah alunan syair di benakku . Tatapanku menerawang jauh di ujung sana, malam yang sama tujuh tahun silam. Suasana ini membawaku terombang ambing bersama ombak jauh di dalam memori otakku. Ada begitu banyak ingatan dan kenangan yang memaksa menyembul dalam otakku. Setiap lekuk dan sisi dalam otakku terisi penuh dengan guratan guratan kenangan yang menyesakkan. Otakku  seakan penuh sesak dan menggembung tak tertahankan, begitu banyak kenangan yang muncul malam ini membuatku hanya terpaku pada satu ujung, ujung yang menyesatkan.
                “Mungkin sudah cukup sampai disini, kali ini. Aku sudah muak dengan setiap celoteh pertempuran kita, aku tak yakin bisa terus merajutnya saat pertengkaran kita membuatnya  semakinparah.” Tuturnya lewat bibir yang tersisa manis katanya, kini terlihat muram nan kusut.
                “Tidak, jangan lagi kata itu. Sudah jangan merobeknya lagi, aku akan melepaskan benang ikatan kita dengan halus. Agarlah tiada yg kusut dan terluka lagi. Jangan terlalu memaksakan kehendak untuk terus bersanding, kita tidak tertulis dalam takdir untuk saat ini.” Balasku, menyeka air yang mendesak keluar mataku. Ku tutup malam itu dengan segala amarah yang meletup letup dan kecewa yang menjadi. Kami pergi kearah berlawanan, saat-saat terakhir kulihat mata itu nanar melihatku. Kini mata yang mengalunkan keluh kesahnya. Mata kami bertautan, enggan melepas satu sama lain, mata kami saling memeluk dengan mesranya dan menjerit histeris. Terseok-seok. Jangan pergi, jangan pergi!!
                Aku melenggang ke lorong jiwa, menghampiri setiap rasa dalam kalbu yang tertimbun kenangan kelam. Mencari satu titik terang yang bisa ku jadikan penerang, penunjuk jalan. Hatiku gersang, panas dan hujan tak bisa menyuburkan perasaan yang ada di dalamnya. Rasa yang telah lama terabaikan, cinta tanpa pembalasan, dahaga rindu tanpa pemuas. Aku masih mencari, mencari setitik cahaya dibalik kehampaan ini. Mencari jawaban, apakah penantian ini sudah berakhir? Apakah janji yang terikrar sudah menjelma menjadi pengkhianatan?
                                                                                                ***
                Semburat kilauan mentari membangkitkan malam panjangku, menyelami keterpurukan yang tiada henti, terus mengalir dan menyeretku semakin jauh di jurang nestapa. Begitupun hatiku yang hampa kosong hilang isi menguap tanpa arti, seperti bintik embun yang mulai hangus diterpa terik sinarnya pagi ini. ‘Dia spesial bagiku, dia yang selalu mengingatkanku untuk bertahan bersamamu. Mengertilah.’ Kalimat itu masih terngiang-ngiang dalam ingatanku selepas kututup malam dengan butiran obat tidur yang kuteguk bersama kekecewaanku. Kusongsong pagi ini dengan guratan lengkungan dari bibirku, berharap hari yang cerah ini bisa membawa asa yang baik untuk hidupku kedepan. Aku, Zaira. Aku adalah seorang penulis sekarang ini. Aku menulis semua yang aku bisa, yang ku lakukan cukup mudah, aku hanya berbekal kemampuan berbahasaku yang cukup lihai mencari suatu topik dan ide lalu mengolah juga mengutak-atik kata perkata dan kususun menjadi sebuah kalimat dan jadilah sajian yang mantap di tampilkan di pasar umum. Aku melakukan semua trik sulapku untuk mengubahnya menjadi menarik. Tentunya aku sudah cukup sukses saat ini, didasarkan pada anganku sejak umur 15 tahun dulu. Aku yang berbekal pengalaman kisah cinta monyet dan menuangkannya dalam sebuah tulisan tangan. Sejak itu, untaian kata adalah hal yang dapat aku lahirkan setiap saat, kapanpun aku mau dan tersambar sebuah ide. Aku beranak pinak, menjadikan lembaran demi lembaran buku sebagai kotak bayiku. Aku hidup sendiri, memutuskan tinggal di tempat yang jauh dari orang tua adalah pilihanku. Aku menetap disini bukan tanpa alasan, aku ingin bersantai sembari menikmati kenangan indah yang sempat terlukis di masa lalu, sebuah cinta monyet. Yang kurasakan di kota ini semakin kering seiring tercemarnya udara yang dulunya adalah primadona, sangat menyejukkan. Aku sudah di ajukan untuk berpindah ke kota lain untuk mengembangkan bakat emas yang kimuliki, namun aku tak kuasa meninggalkan kota tercinta ini. Aku lebih memilih melanjutkan karyaku di tempat ini sembari menunggu sesuatu yang sangat ku tunggu, sesuatu yang telah dijanjikan tujuh tahun silam, sebuah salam perpisahan yang manis. Kini sudah tujuh tahun berlalu, tanpa kabar dan aku hanya bergantung pada kepercayaan yang sudah membatu ini. Menunggu ujung penantian yang terkulai. Usman, setiap hari ku alunkan nada rinduku berharap akan sampai tepat pada waktunya. Kembalilah!! Aku sudah menunggumu seperti yang kau ingini.
                                                                                                ***
Hari berganti, bahkan setelah tujuh tahun, tak kunjung ku temukan penghujung penantian ini. Ku gayuh sepeda kesayanganku mengelilingi alun-alun kota. Burung menukik dari sarangnya menghambur menikmati biru udara kota selepas fajar bertengger. Mentari kian gencar menyinari cakrawala, panasnya tak terbendung hinggap di sekujur tubuhku. Dalam sekejap, aku kehilangan fungsi indraku secara perlahan, terakhir kali yang dapat aku lihat dalam kabur adalah lalu lalang orang yang ada di sebelahku. Mereka melihat kearahku dengan muka cemas. Diantara mereka ada yang menggenggam telepon dengan gemetar. “119!! 119!! Cepat!!” ucap seorang lelaki berulang-ulang, aku tak dapat berkata apapun saat itu. Tunggu, aku melihat seseorang yang tak asing bagi mataku, orang yang selalu hadir dalam angan dan orang yang tanpa izin menemani mimpiku. Sekejap saja, ku merasakan ada berat yang berada diatas kelopak mataku, memaksaku memejamkan mata dan mengakhiri pemandangan menakjubkan, sosok orang yang aku tunggu selama ini, lelaki pujaanku. Usman!!
                “Anda sudah sadar? Beruntung sekali anda bisa selamat setelah semua yang terjadi.” Ucap seorang lelaki jangkung paruh baya berseragam putih dengan riang melihatku membuka mata. Aku tertegun saat menilik ke berbagai sudut ruangan ini, hanya jajaran ranjang dengan beberapa orang berbaring serta infuse yang menggantung. Aku bisa merasakan jantungku memompa seirama dengan tetesan larutan yang keluar dari infuse yang gaung suaranya begitu memekakan telinga. Aku hanya bisa membaringkan tubuhku di ranjang nan membosankan ini. Bosan menunggu pulih berteman aliran infuse yang menelusup di tubuhku. Aku ingin pulang, otak ini terlalu membusung untuk terus di diamkan seperti ini, aku rindu kotak bayiku, aku ingin melahirkan sajak dan kata-kataku lagi. Aku rindu suasana rumah yang hening, berteman cahaya temaram dan goresan tinta.
                                                                                                ***
                Mentari meninggalkan peraduannya menampakkan kilau menyinari mimpi panjangku, melenggang menapaki buana berhiaskan biru udara memantul di hadapan mirat membiaskan cahayanya. Ku ayunkan kakiku menuju pintu kaca, menyingkap tirai dan membiarkan sinar mentari menerobos masuk di sela celah-celahnya. Mataku terbuka lebar diterpa pelukan hangat sinarnya,  pipiku mulai bergerak. Bibirku mulai melengkung, menyambut matahari dengan keramahannya. Aku siap berinteraksi lagi, kembali dalam rutinitasku melahirkan untaian kisah baru. Ku hidupkan mesin mobil hitam yang mengkilap di bagasi yang mulai berdebu setelah kutinggal dua minggu selepas kejadian itu, sungguh peristiwa yang mendebarkan. Daun-daun di pinggir jalanan ini melambaikan daunnya menyambutku dengan senyuman yang menghijau di pagi secerah ini.
                Kini aku telah menapaki beranda kantor yang mencakar langit, setelah sekian lama menanti saat-saat ini aku bisa kembali disini. Lantai pualam yang mengkilap, pintu kaca yang bening, dan bunga-bunga mekar nan manis yang ditopang vas cantik seperti menyambut kembalinya aku ke dunia ini. Para karyawan berlalu lalang di depanku, menyambutku dengan ramah. Dan lihat, semua disini sangat indah.
                “Zaira…” Deg! Jantungku bertalu mendengar sapaan dari suara itu, sama seperti tujuh tahun lalu. Aku berusaha memalingkan wajahku dan memantapkan tatapanku pada sosok itu. Tubuhku bergetar hebat saat harus ku putar seratus delapanpuluh derajat menuju arah tempatnya. Mata kami saling memandang, mulutku terkunci, aku tidak dapat mengeluarkan keluh kesahku selama tujuh tahun silam. Aku terkalahkan dengan desakan hatiku, mata mengucurkan airnya. Kekosongan terus menyesakki rongga batinku, usai terpekur lama dalam hening. Mulutnya mulai terbuka, mencoba menuturkan apa yang terjadi selama ini. Jantungku berpacu kencang mendengar kata-katanya.
                “Maafkan aku Ra, aku tidak bermaksud mengingkari janji kita. Maafkan aku pula tak bisa menemanimu saat kamu terbaring lemah, aku takut semuanya akan bertambah buruk. Maafkan aku sudah meninggalkanmu selama ini. Maafkan aku Ra, aku sudah mencarimu beberapa bulan ini. Dan saat kecelakaan itu, aku begitu malu pada diriku sendiri tak bisa melindungimu. Aku takut untuk menghadapimu lagi, aku takut menyakitimu. Aku harus berbicara padamu, itu yang aku lakukan saat ini, aku minta maaf Ra baru menemuimu setelah sekian lama.” Pintanya dengan memelas, matanya terpejam, memalingkan wajah manisnya dari pandanganku, itu batas kemampuannya dan aku tahu itu.
                “Tak apa Usman, lihat aku sekarang bisa berdiri disini menemuimu. Aku sudah memaafkanmu jauh sebelum bibirmu mengatakan itu, aku senang kamu kembali.” Ucapku sembari memasang gelang berwarna hijau gelap yang ku ambil dari tasku, gelang dari bahan kulit yang dikepang itu di pergelangan tangannya yang kekar.
                “Kamu tahu? Aku membeli gelang ini pada saat study wisata sekolah saat aku masih SMA dulu. Namun takdir memisahkan kita, kamu berpaling dariku begitu saja saat itu. Meninggalkanku dengn beribu harap. Kau tahu? Sudah tujuh tahun lamanya gelang ini terus bertengger dalam tasku, sembari berharap aku bisa memakaikan ini di tanganmu. Saat pertemuan kita lagi, dan sekarang aku bahagia bisa melihatmu. Terimakasih telah kembali.” Tuturku sambil menyeka air mata yang membuyar tak karuan, berharap aku bisa menyembunyikannya. Ku urai lagi isi dunia lewat tatapan. Begitu berbinar dan meneduhkan.

Kini semua luluh, hidup seolah dalam melodrama yang mengharu biru. Semua beban di kehidupanku selama ini terangkat ke ujung petala yang merekah. Luka yang selama ini menganga terjahit oleh susunan embun yang menyegarkan. Kali ini, aku merasa benar-benar bebas dari belenggu masa laluku. Sebelumnya aku yang terus hidup untuk ‘masa lalu’ kini berganti dengan ‘sekarang’ yang menggelora. Angin lembut mengurai satu-persatu anak rambut Usman, ada berjuta kehangatan yang terpantik di dalamnya. Akhir cerita takkan mengkhianati sebuah penantian yang terbujur lama. Memenuhi dahaga rindu dengan setitik air dari surga, surga dari sebuah penantian. Meski senja kesumba menutup fajar, sang bintang bersiap mendampingimu.